Jumat, 20 Juni 2008

Wawancara: Agama Melarang Umatnya untuk Hidup dalam Kemiskinan

Berikut merupakan kutipan ketika saya diwawancara oleh wartawan dari Majalah Swadaya, Ahmad Sahidin, mengenai kemiskinan di kalangan umat Islam.

Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim nasibnya sangat mengkhawatirkan. Berbagai masalah seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah dan tak berkualitas atau kesenjangan sosial, dari tahun ke tahun makin meningkat. Mengapa ini bisa terjadi?

Ya, memang itu masalah yang hingga kini belum selesai. Menurut saya, permasalahannya terletak pada sumber daya manusia di Indonesia belum kuat. Belum optimal. Hal ini terjadi karena saling keterkaitan antara kemiskinan dengan pendidikan yang rendah. Entah karena pendidikan yang rendah mengakibatkan kemiskinan atau sebaliknya. Namun, ini harus kita sadari bahwa kedua masalah ini perlu dituntaskan dengan segera.

Untuk mengatasi pendidikan yang rendah harus ada kepedulian dan perhatian dari pemerintah untuk meningkatkan penyebaran pendidikan yang merata di seluruh Indonesia. Sehingga, mereka (masyarakat miskin–red) dapat menikmati pendidikan setinggi-tingginya dengan biaya sangat rendah. Karena itu, bila sumber daya manusia itu bagus, kuat, maka akan menghasilkan produk-produk yang bagus pula. Oleh karena itu, produk-produk yang dihasilkan masyarakat Indonesia itu akan berguna bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Sebenarnya, masalah-masalah tadi merupakan tanggungjawab pemerintah Indonesia terhadap rakyatnya. Sejauh ini, bagaimana Bapak melihat usaha pemerintah untuk mengatasi persoalan ini?

Sejak negeri ini merdeka pada tahun 1945 hingga sekarang, saya belum melihat keseriusan pemerintah dalam menangani masalah pendidikan dan kemiskinan. Dulu kan cuma dianggarkan sekitar 7 % atau di bawah 10 %. Alhamdulillah, melalui amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dilahirkan MPR tahun 1999-2004, di sana dicantumkan minimal 20 % pemerintah harus menganggarkan dana bagi kepentingan pendidikan. Ini harapan besar bagi kita, jika alokasi pendidikan sudah mencapai sebesar itu, dan bila didukung semua atau swasta yang punya keberpihakkan, insya Allah akan menghasilkan pemerataan dalam pendidikan dan peningkatan kualitas pendidikan.

Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa anak-anak miskin dan terlantar dipelihara negara atau mendapatkan jaminan hidup dari pemerintah. Namun, faktanya belum terwujud. Bagaimana ini?

Ya, memang belum terwujud. Saya kira itu tuntutan dari konstitusi yang harus menjadi perhatian pemerintah sekarang ini. Memang, masalah kemiskinan di Indonesia ini bagaikan piramida. Terlalu banyak orang miskin dibandingkan orang kaya. Terlalu banyak mustahik (penerima zakat—red) dibandingkan muzaki (pemberi zakat—red). Jadi, walaupun semua orang kaya di Indonesia mengeluarkan zakatnya, 2.5 %, pasti tidak akan mencukupi karena orang yang menerimanya terlalu banyak. Prosentasenya tidak seimbang.

Jadi, jika pemerintah mengurus kemiskinan dan anak-anak terlantar di seluruh Indonesia, maka akan kehabisan devisa atau anggaran negara. Pasti tidak akan cukup. Meski begitu, tetap saja pemerintah harus memerhatikan dan bekerja keras mengurus dan mencarikan solusi yang terbaik untuk orang-orang miskin dan anak-anak terlantar agar sejahtera. Sehingga, dari tahun ke tahun orang-orang miskin atau anak-anak terlantar itu jumlahnya berkurang. Kalau sekarang kan sektor swasta yang banyak menanggulangi orang-orang miskin dan anak-anak dhuafa terlantar. Contohnya Muhammadiyah, ormas (organisasi masyarakat—red) yang banyak membuat amal-amal usaha yang diperuntukan untuk orang-orang miskin. Muhammadiyah membuat panti asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah, dana usaha kredit mikro, dan pembinaan keagamaaan, yang semuanya itu sebagai bentuk pelayanan publik.

Jadi, pemerintahan kita ini melaksanakan amal sholih?

Amal shalih itu memerhatikan kehidupan masyarakat miskin dan sosial. Setiap kata-kata iman kepada Allah dalam Al-Quran pasti diiringi dengan amal shalih. Hal ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap masyarakat dhuafa dan kepedulian sosial.

Menurut Nabi Muhammad SAW, tidak akan disebut beriman kamu bila tidak memerhatikan saudaramu sendiri. Jadi, yang diajarkan Nabi di masa awal Islam, di Mekah, tentang kepedulian sosial. Sedangkan, ukuran orang yang disebut beragama itu, dalam surat Al-Maun disebutkan, orang yang termasuk beragama itu adalah mereka yang memberi makan anak yatim dan tidak menelantarkan atau menghardiknya.

Kalau begitu, standarnya orang beragama itu adalah yang mempunyai kepedulian sosial terhadap kehidupan masyarakat dhuafa?

Ya, itu memang yang tercantum dalam Al-Quran. Pendusta agama itu orang yang tidak memberi makan orang miskin atau menghardik anak yatim. Ya memang ini yang dilakukan Rasulullah sebelum memberikan pembinaan syariat agar mereka bisa benar-benar merasakan manfaatnya peran sosial agama.

Bila kita analisa, kenapa posisi agama itu tidak nampak berperan dalam kehidupan sosial, itu karena pola dakwah yang terlalu koginitif. Pembinaan dakwah kita hanya sebatas pemikiran dan informasi saja. Belum menyentuh pada pola dakwah yang aplikatif pada psikomotorik atau keperibadian.

Saya melihat banyak orang yang berpengetahuan agamanya tinggi, tapi perilakunya tak mencerminkan orang beragama. Adakalanya kiyai tidak sesuai dengan ke-kiyai-annya. Ada juga sarjana yang tidak sesuai dengan kesarjanaannya. Inilah yang ada di masyarakat kita. Karena itu, untuk saat ini sangat dibutuhkan pola dakwah membina keperibadian orang dan memerhatikan hal-hal praktis bagi masyarakat. Misalnya, kita ajak masyarakat untuk yakin dan berusaha dalam mengisi kehidupan dunia dengan baik. Kita arahkan masyarakat, bila sakit ajak ke dokter dan suruh berdoa kepada Allah, bukan ke dukun. Kita fasilitasi keberadaan anak-anak yatim dan dhuafa dalam panti-panti asuhan. Kita berikan dana usaha atau kredit mikro agar kaum miskin dan dhuafa bisa mempunyai penghasilan dan tetap beribadah. Ini yang kami lakukan di Muhammadiyah. Saya juga melihat ini dilakukan oleh Pesantren Daarut Tauhiid Bandung. Ini yang saya kira terbukti kontribusinya.

Benarkah ada nash-nash atau konsep teologis Islam yang menganjurkan umat Islam untuk hidup dalam kemiskinan?

Tidak. Saya kira kemiskinan itu sebuah kecelakaan. Sesuatu yang tidak diinginkan di dunia ini. Agama apa pun di dunia ini melarang umatnya untuk hidup dalam kemiskinan. Dalam Al-Quran saya menemukan kalimat, janganlah kamu meninggalkan anak-anakmu dalam keadaan lemah. Ini merupakan peringatan dari Allah SWT. Ada juga kalimat, Allah sangat mencintai orang-orang yang kuat, kaya, dan peduli pada orang-orang miskin. Kemiskinan itu sesuatu kecelakaan. Sebuah fungsi laten yang ada dalam kehidupan kita yang tak diinginkan. Fungsi manifesnya kan bahagia, sejahtera, makmur, tentram. Nah, fungsi latennya adalah kemiskinan.

Dalam ajaran agama kita pun ada hadits yang berbunyi bahwa kefakiran mendekatkan pada kekufuran. Fakir ini artinya orang-orang yang merasakan dirinya selalu tak cukup. Selalu mencari kepuasan dengan berbagai cara. Jika ada iming-iming harta, ia ikut ke sana. Memang, seperti itu ciri dan kelakuan orang fakir itu. Yang dianjurkan Allah SWT, pertama adalah harus qanaah, merasa cukup atas apa pun yang kita terima dari Allah SWT dalam kehidupan ini. Selalu bersyukur kepada Allah. Kedua, harus zuhud. Ia tidak terpengaruh dengan dunia. Meski ia kaya tapi tak diperbudak dengan harta atau dunia. Jadi, qanaah dan zuhud itu sesuatu pasangan yang baik yang perlu diterapkan dalam kehidupan kita.

Tapi, mengapa masih juga ada Umat Islam yang berada dalam kondisi yang memprihatinkan, baik itu secara keagamaan maupun sosial?

Ya, memang itu ada. Tapi yang jelas, jika umat Islam ingin kaya atau cukup dalam persoalan ekonomi dan terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, harus bisnis. Gali saja ilmu pengetahuan dan skill agar kita bisa bekerja dan mengisi kehidupan. Di dalam Al-Quran surat Mujadillah ayat 11 disebutkan, bahwa Allah akan mengangkat orang-orang beriman dan yang mempunyai ilmu pengetahuan beberapa derajat dari orang-orang biasa. Makna iman pada ayat ini adalah untuk memantapkan keyakinan kepada Allah atau menguatkan batin kita supaya baik, tenang, dan tentram. Sedangkan, ilmu maknanya dalam ayat tadi, untuk menggali atau mengembangkan usaha di dunia. Yang saya lihat di Indonesia ini, Umat Islam miskin bukan karena faktor keimanan. Tapi aspek ilmu dan rendahnya pendidikan sehingga kalah bersaing dengan dunia luar. Juga akses dalam informasinya sangat kurang.

Jadi, kalau ingin kaya, ya bisnis. Kuasai ilmunya. Cari modal yang cukup. Buka akses ke dunia pasar. Baru kemudian kuatkan dengan nilai-nilai keagamaan. Kalau tidak sinergis, dalam kehidupan dan fasilitas untuk hidup, maka tak akan terwujud. Jadi, faktor struktural dan infrastruktur harus dipadukan bila ingin sejahtera dan makmur.

Ada asumsi dari beberapa Harakah Islam Indonesia yang menganjurkan untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia, bila ingin meraih kemakmuran dan kesejahteraan di negeri kita. Komentar bapak?

Saya setuju. Itu boleh dilakukan asal untuk kesejahteraan ruhani kita. Tapi untuk kesejahteraan dunia, ya harus bisnis dan menguasai teknologi. Saya anjurkan pada semua Umat Islam untuk meningkatkan pendidikan kita lebih tinggi. Dengan pendidikan tinggi orang akan kreatif dan menghasilkan karya atau usaha yang berdaya jual. Dari sinilah kesejahteraan dan kemakmuran akan di dapat.

Jadi, bila Umat Islam Indonesia ingin meraih kemakmuran itu kuncinya iman, ilmu, dan amal atau aktivitas yang jelas dan menghasilkan. Jadi jangan terlalu simple atau instan dalam memahami kehidupan ini. Nabi Muhammad SAW saja berproses dalam menjalani kehidupan ini. Ia tidak menolak strategi perang dari Salman al-Farisi. Bahkan, dalam sejarah Nabi Muhammad SAW meminta suaka politik ke negeri Habsyi. Kita juga harusnya begitu, jangan menolak ilmu pengetahuan atau teknologi dan skill dari luar Islam.

Jadi, apa yang harus dilakukan Umat Islam agar kehidupannya makmur dan lebih baik?

Sekarang ini coba perbaiki ekonomi. Cari jalan atau strategi melalui ilmu pengetahuan bagaimana kehidupan ekonomi bisa maju. Orang miskinnya dihilangkan melalui pemberdayaan masyarakat. Baru nanti zakatnya bisa menghidupi orang-orang miskin.

Apakah Bapak yakin dana umat seperti zakat, infak, dan sedekah bisa jadi solusi dari berbagai masalah sosial dan ekonomi yang terjadi di negeri ini?

Pajak 15 % di Indonesia saja sudah tak cukup untuk menaikkan tarap hidup masyarakat Indonesia. Apalagi zakat yang hanya 2,5 %, pasti sangat tidak bisa mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Sebab, warga miskin di Indonesia ini lebih banyak dari yang kayanya. Yang membuat dunia ini berdaya adalah bila yang kaya lebih banyak dari orang-orang miskin. Begitu juga dalam kasus zakat, sekarang ini lebih banyak penerima zakat dibanding pembayar zakat.

Saya kemarin bersilaturahmi ke Nigeria, sebuah negara Muslim yang paling miskin di dunia. Negaranya berdekatan dengan Libya, yang sangat kaya raya dan makmur karena minyak. Memang, Libya memberikan bantuan untuk Nigeria, tapi tetap saja masih tak berdaya dan miskin. Sebab, dana yang dimiliki Libya tidak bisa memakmurkan seluruh warga Nigeria, apalagi bila pemimpinnya tak berdaya, ya sudah terpuruk. Meski ada bantuan, tapi jika tak ada dukungan dan kekuatan untuk bergerak dari pucuk pimpinan, ya lemah, atau tidak dimanfaatkan oleh kita. Malah dibawa pihak luar ke luar negeri.

Namun, kalau kita melihat negara Islam di Timur Tengah seperti Iran, Kuwait, atau Lebanon ternyata mampu membiayai masyarakat dhuafanya. Ini karena ada khumus, 20 % yang ditarik pemerintah dari orang-orang kaya. Kita lihat kemarin Hizbulloh di Lebanon, meski berperang melawan Israel, tapi masih bisa membangun kembali bangunan yang rusak akibat perang, dan bahkan Hizbulloh memberikan uang cuma-cuma kepada korban perang. Luar biasa, dananya itu berasal dari zakat dan khumus.

Saya pikir bila ingin terwujud masyarakat Muslim yang berdaya, harusnya ada kepedulian global dari negara-negara Muslim kaya dan memberikan bantuannya kepada negeri-negeri Muslim yang miskin seperti Indonesia ini.

Namun, hal itu sulit karena kita disekat dengan aspek kebangsaan. Belum lagi hingga saat ini umat Islam belum bersatu. Harusnya sih bersatu sehingga kepedulian global bisa terwujud. Ini penting diperhatikan, bahwa menolong sesama muslim itu sebuah kewajiban.

Ada hal lainnya yang perlu Anda (Majalah Swadaya—red) ketahui. Jika melihat Amerika dan Eropa, tiap bulannya pasti ada para artis atau bintang film yang dipenjara karena enggan bayar pajak atas kekayaannya itu. Di negeri kita ini kan banyak artis-artis atau publik figur yang pendapatannya besar, harusnya dipajak sesuai dengan besarnya kekayaan yang diperolehnya. Beri sanksi fisik agar tidak mempermainkan hukum. Begitu pun zakat. Umat Islam yang kaya harus bayar zakat dan beri sanksi bila tak membayarnya. Percayalah, meski tidak ada sanksi fisik dalam urusan zakat, Anda harus yakin bahwa orang yang tak zakat itu pasti dimiskinkan oleh Allah SWT. Ini ketentuan Allah.

Sejauh ini, bagaimana perkembangan lembaga-lembaga sosial atau ormas yang mengurus keberadaan kaum dhuafa?

Ya berjalan. Kami di Muhammadiyah masih terus memikirkan bagaimana orang miskin ini bisa terberdayakan. Kami beri kredit ekonomi mikro dan pelayanan-pelayanan publik. Sama seperti di Pesantren Daarut Tauhiid (DT). Saya apresiatif dengan dana usaha-dana usaha yang diberikan DPU DT. Itu positif.

Apa standar untuk mengukur keberhasilan sebuah lembaga sosial atau ormas dalam mengurus kaum dhuafa?

Ukurannya apakah lembaga itu mengurusnya berlangsung lama. Bisa bertahan lama. Kami mengurus hal-hal yang seperti ini sudah mencapai seratus tahun. Sampai sekarang ini kami terus melakukan perbaikan dan pengembangan. Kata Allah dalam Al-Quran, sesuatu yang tidak bermanfaat akan habis. Tapi yang bermanfaat akan berlangsung terus, abadi. Ukurannya begitu saja. Kalau hanya seremonial dan temporal, tidak bisa disebut berhasil.

Ada pesan moral untuk masyarakat?

Semua orang, terutama yang kaya dan berkecukupan, tolong perhatikan nasib orang-orang miskin yang berada di sekitarnya. Sekarang ini zamannya serba kekurangan ekonomi. Orang-orang masih banyak memerlukan bantuan untuk makan, pendidikan, dan kesehatan. Kepedulian orang beragama itu tidak hanya lewat kata-kata, tapi perlu bukti nyata.

Minggu, 18 Mei 2008

Langkah-langkah Pengamalan Nilai-Nilai Ukhuwah Islamiyah

Berdasarkan studi perjalanan Sejarah Islam, Persoalan Ukhuwah Islamiyah merupakan persoalan serius dari dulu hingga sekarang dan tetap menjadi isu penting dan bahkan mungkin akan terus menjadi batu ujian serta tantangan dalam menata kehidupan keberagamaan di kalangan kaum muslimin hingga akhir zaman. Saya berpendapat bahwa selama manusia masih ada, maka isu konflik antar kelompok akan selalu muncul dalam bentuk dan formatnya yang berbeda, sesuai dengan semangat zamannya. Hal tersebut terjadi karena kebhinekaan dalam pemahaman agama merupakan suatu keniscayaan sejarah (historical necessary) yang tidak dapat dielakan. Maka perbedaan dalam pemikiran maupun pengamalan keagamaan pun terjadi sebagai keniscayaan sejarah yang tidak mungkin terhindarkan.

Dalam kehidupan kaum Muslimin di seluruh pelosok dunia, telah muncul berbagai aliran keagamaan yang dilatarbelakangi oleh masing-masing kelompok karena adanya perbedaan manhaj (methode) dalam penetapan hukum. Seperti di kalangan sufi lahirlah berbagaimacam tarekat baik yang muktabarah maupun yang ghaer muktabarah. Dalam bidang Fikih lahirlah imam madzhab yang empat. Di bidang aqiedah lahirlah aliran ilmu kalam. Dalam bidang politik lahirlah berbagai partai politik berbasis agama. Dibidang social keagamaan lahirlah organisasi massa islam. Semua itu merupakan pelangi di siang hari melahirkan warna warni yang beraneka ragam yang indah bila dipandang.

Kebhinekaan pemahaman agama tersebut di atas merupakan suatu keniscayaan sejarah (historical necessary) yang bersifat universal. Dalam bahasa teologi, kebhinekaan pemahaman keagamaan ini, merupakan sunnat al-Allah (kepastian hukum Tuhan) yang bersifat abadi (perennial) Alquran berulangkali menegaskan isyarat akan kebinekaan pemahaman agama tersebut seperti antara lain termuat dalam surat al-Baqarah [2]: 148:

Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya (wijhah) sendiri yang ia menghadap kepadanya; maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada, niscaya Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q. Al-Baqara [2] : 148).

Kata wijhat menurut ahli tafsir (mufassir) memiliki banyak pengertian, diantaranya berarti arah atau kiblat, tujuan, pandangan dan orientasi. Artinya bahwa setiap ummat atau komunitas agama (ahl al-adyân/al-millat) memiliki arah atau kiblat, tujuan, orientasi dan cara pandang masing-masing yang satu sama lainnya berbeda.

Ide tentang kebinekaan sebagai kepastian hukum Tuhan (sunnat al-Allâh), yang bersifat abadi (perennial) tersebut, juga dinyatakan dalam Alquran surat al-Maidah [5]: 48


“Untuk tiap-tiap ummat di antara kamu, Kami berikan aturan (syir’at) dan jalan yang terang (minhâj). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan” (QS. al-Maidah [5] : 48).

Kata syir’at dan minhâj yang biasa diterjemahkan sebagai aturan dan jalan yang terang, dapat diartikan juga sebagai praktek keagamaan. Artinya bahwa setiap ummat atau komunitas agama (ahl al-adyân/al-millat) memiliki praktek keagamaan masing-masing yang satu sama lainnya berbeda.

Dengan demikian, berdasarkan penafsiran kedua ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap ummat atau komunitas agama (religious community) mempunyai arah atau kiblat, tujuan, orientasi, pandangan serta praktek keagamaan masing-masing, yang berarti menunjukan pembenaran adanya kebhinekaan agama. Pembenaran terhadap kebhinekaan agama tersebut semakin bertambah tegas apabila membaca penggalan surat al-Maidah [5]: 48 di atas, bahwa “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan”. Penggalan ayat ini menegaskan bahwa kebhinekaan ummat beragama merupakan suatu yang memang menjadi tujuan dan kehendak Tuhan dalam ciptaan-Nya supaya dapat menguji manusia dalam merespons kebenaran-kebenaran yang telah disampaikan-Nya dan supaya manusia berkompetisi dalam melakukan kekaryaan yang baik (musâbaqat fî al-khair).

Ibnu ‘Arabi, seorang sufi yang dikenal sebagai Guru Yang Agung (Syaikh al-Akbar) memberikan penjelasan teologis-filosofis yang sangat menarik berkenaan dengan proses terjadinya kebhinekaan beragama tersebut. Dalam karya the magnum opus-nya, Futûhât al-Makiyat, Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa kebhinekaan atau kebhinekaan syari’at (agama) disebabkan oleh kebhinekaan relasi Tuhan (devine relationships, nasab al-Ilâhiyat); sementara kebhinekaan relasi Tuhan disebabkan oleh kebhinekaan ke-adaan (states, hâl); kebhinekaan keadaan disebabkan oleh plu-ralitas masa-waktu atau musim (times al-waqt); kebhinekaan masa-waktu disebabkan oleh kebhinekaan gerakan benda-benda angkasa (movement, harâkat al-aflâq); kebhinekaan gerakan dise-babkan oleh kebhinekaan perhatian Tuhan (attentivenesses, taw-jihat al-Ilâhiyat); kebhinekaan perhatian disebabkan oleh kebhinekaan tujuan Tuhan (goals, al-qashd); kebhinekaan tujuan disebabkan oleh kebhinekaan penampakan diri Tuhan (self disclousures, tajliyat al-Ilâhiyat); dan kebhinekaan penampakan Tuhan, disebab-kan oleh kebhinekaan syari’at (revealed religion).

Sementara secara historis empiris, menurut Ismail Raji al-Faruqi kebhinekaan atau kebhinekaan agama tersebut disebabkan oleh perbedaan tingkat perkembangan sejarah, peradaban dan lokasi ummat yang menerimanya. Lebih lanjut Isma’il Raji al-Faruqi menjelaskan bahwa asal dari agama itu satu karena besumber pada yang satu, Tuhan, yaitu apa yang disebutnya se-bagai Ur-Religion atau agama fitrah (Din al-Fithrat), sebagai-mana firman Allah “Maka hadapkanlah wajahmu kepada (Allah) dengan lurus; (tetaplah) atau fitrah Allah yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang benar, akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. al-Rum [30]: 30). Tetapi kemudian, sejalan dengan tingkat perkembangan seja-rah, peradaban dan lokasi ummat yang menerimanya, Dîn al-Fitrah atau Ur-Religion tersebut berkembang menjadi suatu agama historis atau tradisi agama yang spesifik dan beraneka (plural).[1]

Watak Masyarakat Agama dan Keniscayaan Konflik


Watak dasar dari masyarakat beragama adalah akan menganggap apa yang dilakukan dalam kelompoknya benar dan cenderung menganggap apa yang dilakukan oleh pemeluk kelompok lain sebagai yang tidak benar. Dalam bahasa sosiologi agama, watak dasar tersebut dikenal dengan truth claim (klaim kebenaran). Klaim kebenaran (truth claim) inilah yang menjadi karakteristik dan identitas suatu agama, tidak ada agama tanpa klaim kebenaran. Sebab, tanpa adanya truth claim maka agama tidak akan memiliki kekuatan simbolik yang menarik pengikutnya.. Watak dasar inilah yang kemudian melahirkan kristalisasi iman (faith) dan kecintaan terhadap suatu kelompok agama yang diyakininya, serta mendorong timbulnya minat untuk mempelajari, mengamalkan dan menyebarkan ajaran-ajarannya (dakwah atau missi, zending dan sebagainya), bahkan mempertahankan eksistensinya.


Dengan demikian, bila semua agama memiliki watak dasar tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kebhinekaan, sebenarnya menyimpan potensi konflik serta ketegangan sosial-politik yang sangat rawan, bahkan menjadi suatu keniscayaan. Keniscayaan konflik intern dan antar ummat beragama ini sebagaimana secara inplisit disebutkan di atas, setidaknya disebabkan oleh tiga hal, yaitu: pertama, masalah paradigma dan internpretasi keagamaan; kedua, masalah implemetasi pemahaman keagamaan dalam kehidupan sosial; dan ketiga, masuknya dimensi kepentingan politis dalam internpretasi dan implementasi keagamaan.


Masalah paradigma beragama dan interpretasi keagamaan yang secara sosiologis dapat dikelompokan kepada tradisionalis, fundamentalis dan modernis, kerapkali menjadi pemicu terjadinya perbedaan yang mengarah kepada konflik intern dan antar ummat beragama. Demikian pula dengan fatwa-fatwa keagamaan yang dikeluarkan oleh para pemuka agama berkembang ke arah “idiologisasi” di mana pandangan keagamaan dalam putusannya menjadi semacam kompilasi doktrin pemikiran keagamaan yang bersifat aksiomatik-positivistik-monistik (sebagai satusatunya kebenaran yang bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat).

Himpunan fatwa keagamaan tersebut oleh sebagian besar kalangan beragama dianggap sakral dan diterima apa adanya (taken for granted), tidak menerima pengurangan, perubahan dan pembaruan (ghair qâbil li al-nuqâsh wa al-taghyîr wa al-ishlâh). Pensakralan pemikiran keagamaan sebagaimana dalam kecenderungan tersebut, tentu saja mengandung truth claim sepihak yang berimplikasi pada sikap keagamaan yang lebih menganggap apa yang menjadi keyakinan dan yang di-praktekannya sebagai paling benar, serta menganggap pemeluk agama lain (the religious other) dan keyakinan lain sebagai yang salah dan bahkan dituduh “kafir”.


Banyak organisasai massa islam yang mengklaim dirinya sebagai kelompok yang paling benar, paling baik dan paling sesuai dengan cara hidup rasull dan menuduh kelompok lain tidak benar. Mereka merujuk kepada dalil yang berasal dari al-qur’an maupun dari Sunnah Rosulullah, menginpretasikannya sesuai dengan kepentingan kelompoknya dan mengidentifikasi diri sebagai aliran yang direstui oleh Nabi. Sikap-sikap seperti inilah yang akan menghambat lahirnya ukhuwah Islamiyah diantara umat islam. Dan klaim seperti itulah yang makin merenggangkan kebersamaan umat Islam.

Menurut hemat saya ada beberapa pemikiran untuk memulai langkah positif dalam rangka meningkatkan ukhuwah Islamiyah di antara kaum muslimin.

  1. Tafsirkan kembali ayat al-qur’an maupun Hadits Nabi dibawah kerangka kebersamaan antara umat Islam dan dibawah kepentingan merekatkan tali persaudaraan antara Umat Islam.

  2. Tanamkan dengan sungguh-sungguh kesadaran bahwa hidup manusia itu beragam, keberagaman itu bukan kehendak pribadi tetapi sudah menjadi kehendak Illahi. Perbedaan tersebut merupakan sunatullah yang telah menjadi ketentuan dari Allah

  3. Keberagaman itu terjadi karena adanya perbedaan dalam cara dan kemampuan pimpinan kelompok Sosial karena perbedaan latar belakang kehidupan serta pengalaman hidup mereka.

  4. Binalah masing masing anggota kelompok untuk bisa hidup dengan kondisi dan situasai lingkungan hidup yang berbeda dan bermacam-macam orang, sehingga lahir sikap toleran terhadap perbedaan,

  5. Perbanyaklah dialog antar kelompok,dan gelar pertemuan bersama yang dihadiri oleh tokoh dan anggota kelompok tersebut.

  6. Buatlah secara bersama melibatkan berbagaimacam kelompok dan aliran untuk menetapkan modus vivendi sebagai alat pemersatu yang disepakati bersama dan di jungjung tinggi bersama.

  7. Rancang adanya kerja Bareng antar kelompok agama dalam menaggulangi issue social sehingga dapat melahirkan solidaritas dan rasa senasib dan sepenaggungan di antara pemeluk kelompok agama.

    [1] Dikutif dari MTPPI PP Muhammdiyah, Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antarummat Beragama, op. cit., h. 15.

Senin, 21 April 2008

Strategi Dakwah Islam Masa Kini

Umat Islam memiliki jumlah pengikut terbanyak di Indonesia. Sekitar sembilan puluh persen, ia merupakan bagian yang paling dominan dalam kehidupan masyarakat Indonesia, bersama-sama dengan umat beragama lain mereka hidup berdampingan dan bergaul. Mengadakan kontak sosial di antara mereka, berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain. Dalam proses interaksi tersebut terjadi saling mepengaruhi dan saling bersaing serta berkompetisi satu sama lainnya. Dalam persaingan tersebut termasuk di dalamnya persaingan dalam menguasai peranan penting di masa depan. Siapapun yang mampu mempersiapkan masa depan dengan baik dan cermat maka ia yang akan menguasai kehidupan masa depan itu, karena ia dengan seksama telah mempersiapkan kader-kader terbaik mereka yang akan berperan dalam kehidupan yang akan datang. Begitu pula sebaliknya siapapun yang mengabaikan masa depan, maka ia akan terpinggirkan dan tidak akan mengambil peran dalam posisi penting di masa yang akan datang.


Kondisi umat Islam dewasa ini sangat memprihatinkan, secara umum dalam bidang kehidupan duniawi mereka bukan termasuk umat yang memegang peranan penting di dunia ini. Dalam beberapa hal tertentu umat Islam tertinggal dari umat yag lain terutama di bidang ekonomi dan politik. Di bidang ekonomi umpamanya, mereka masih mengandalkan kekuatan sumber daya alam dibandingkan dengan hasil produksi ataupun jasa, padahal sumber daya alam kebanyakan tidak bisa diperbaharui, lambat laun akan menyusut dan habis seperti halnya minyak bumi dan barang tambang merupakan sumber daya alam yang kalau sudah habis tidak akan tersedia lagi dalam waktu cepat. Di bidang politik umat Islam mengalami keadaan yang kurang menguntungkan, posisi mereka hampir terpinggirkan dalam konstalasi dunia yang diakibatkan oleh adanya propaganda hitam yang gencar melalui mass media yang canggih dari orang lain. Umat Islam dianggap umat yang punya peradaban masa lalu, teroris, tidak akomodatif dan sebutan lain yang menyudutkan.Kondisi terpinggirkan itu banyak diakibatkan oleh keadaan umat Islam itu sendiri yang lemah, mudah marah, dan mudah panik ketika menghadapi provokasi lawan. Hal tersebut diakibatkan oleh keterbatasan kemampuan mereka dalam sumber daya manusia dan dalam bidang kehidupan sehingga kurang mampu mengimbangi manuver lawan yang memang canggih dalam bidang kehidupan terutama dalam penguasaan ilmu dan teknologi.

Menurut saya, sekali lagi dan ini bukan hanya satu-satunya penyebab dari kurang beruntungnya umat Islam sekarang ini, adalah banyak diakibatkan oleh kurangnya kemampuan kaum Muslimin dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kurangnya penguasaan pengetahuan tersebut banyak disebabkan oleh banyaknya orang di kalangan umat Islam yang masih punya anggapan bahwa penguasaan ilmu dan teknologi tidak begitu penting. Hal tersebut berlanjut kepada anggapan bahwa pendidikan ilmu dan teknologi adalah sesuatu yang diabaikan. Anggapan tersebut mungkin hanya berasal dari ajaran agama yang mereka pahami bahwa kehidupan manusia di dunia ini hanyalah sementara sedangkan kehidupan akhirat itu abadi sehingga mereka lebih mementingkan persiapan menuju kematian (kehidupan akhirat) dan mengabaikan persiapan untuk kehidupan di dunia.

Pikiran atau paham tersebut memang betul kalau dilihat dari lamanya kehidupan seseorang atau pribadi, tetapi kalau kita melihat rentang waktu kehidupan masyarakat Islam yang sangat panjang bisa beratus, beribu tahun bahkan sampai akhir zaman. Mereka tidak menyadari bahwa keadaan kehidupan masyarakat dibangun oleh kehidupan individu (perseorangan). Kalau kehidupab perorangan memprihatinkan maka kehidupan masyarakat yang panjang itu juga akan memprihatinkan. Kalau kehidupan perorangan sekarang kurang memperhatikan kehidupan masyarakat jangka panjang maka kehidupan anak cucu dan keturunannya akan lebih memprihatinkan. Kesalahan mempersepsi dan mengambil keputusan hari ini akibatnya akan dirasakan oleh anak keturunan kita sampai beratus tahun kemudian. Orang yang mengabaikan kehidupan masyarakat masa depan adalah orang yang egois dan individualis, padahal banyak dalam ajaran Islam yang menganjurkan untuk memperhatikan nasib keturunan masa depan sebagaimana firman Allah : "Dan hendaklah kamu takut dengan keadaan anak keturunanmu yang lemah" atau sabda Nabi Muhammad SAW : "Walaupun kamu tahu besok hari akan terjadi kiamat sedangkan di tanganmu ada sebutir benih kurma maka tanamkanlah benih kurma itu". Dua dalil naqli tersebut mengingatkan kita betapa kita harus menciptakan generasi yang akan datang dengan kondisi yang lebih baik dari kondisi sekarang.

Pendidikan merupakan sarana penting bagi mempersiapkan generasi muda untuk tampil dalam gelanggang pada masa yang akan datang. Sayngnya di masyarakat Islam keadaan pendidikan baik jumlah maupun mutu tidak menunjukkan keadaan yang menggembirakan. Contoh kasus di Indonesia, hasil statistik tahun 1990 menunjukkan bahwa 78% penduduk Indonesia lulusan sekolah dasar ke bawah, 20% lulusan sekolah menengah, dan hanya 2% lulusan perguruan tinggi. Dari data tersebut berarti penduduk Indonesia yang mayoritas umat Islam sebagian besar berpendidikan rendah dan akibatnya bisa kita perkirakan sendiri. Data tadi menunjukkan dari segi kuantitas belum lagi jia kita lihat dari segi kualitas, masih sangat sulit kita menemukan sekolah-sekolah yang bagus di Indonesia. Sebagai contoh tidak ada satupun perguruan tinggi di Indonesia yang masuk lima puluh besar di urutan perguruan tinggi terbaik di Asia. Begitu pula sekolah menengahnya. Minim produk penelitian yang berkualitas sehingga sangat sedikit penemuan baru yang dilahirkan dar lembaga pendidikan. Hal itu diakibatkan oleh minimnya anggaran untuk pendidikan dan riset. Bahkan banyak negara Islam yang kaya lebih mementingkan anggaran belanja untuk pertahanan dibandingkan untuk riset dan pendidikan.

Kondisi inilah yang mengharuskan berbagai lembaga keagamaan Islam yang ada untuk mulai menyadari akan pentingnya lembaga pendidikan untuk menaikkan tingkat pendidikan di kalangan umat Islam. Kenapa harus lembaga Islam? Sebab bagaimanapun masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim masih mempunyai loyalitas yang kuat terhadap kelompok keagamaan dimana mereka bergabung. Mereka merasa terpanggil dan terlibat ketika lembaga keagamaan mereka atau organisasi massa mereka membuat amal usaha termasuk disana adalah lembaga pendidikan.

Memang kita telah mengetahui bahwa sudah banyak ormas Islam yang telah mendirikan lembaga pendidikan seperti sekolah, madrasah, maupun pesantren tetapi keberadaannya belum merata di seluruh pelosok tanah air dan juga kualitasnya masih berorientasi apa adanya. Sudah waktunya ormas Islam menggerakkan anggotanya untuk lebih meningkatkan partisipasinya dalam pendidikan umat sehingga mencapai hasil yang maksimal. Sumber dana masyarakat jauh lebih besar dibandingkan dengan sumber dana di pemerintah, sebab dana pemerintah pun sebenarnya banyak yang berasal dari dana masyarakat yang dikumpulkan melalui pajak dan retribusi.

Jadi, kalau saya membayangkan ketika mayoritas umat Islam telah mengalami pendidikan yang tinggi, maka akan terjadi keadaan umat Islam yang aqiedahnya kuat dan ilmu pengetahuannya luas dan dalam itulah yang akan melahirkan khoeru ummah yang disebutkan oleh Allah dalam QS Ali Imran. Dan menjadi umat yang dijanjikan Allah diangkat derajatnya karena beriman dan berilmu pengetahuan.

Selasa, 18 Maret 2008

Kesalehan Sosial dalam Islam

Prolog

Salat adalah simbol kesalehan religius dalam Islam. Lima kali dalam sehari kaum muslimin melaksanakannya, nyaris tidak ada satu waktupun yang tertinggal. Setiap minggu pada hari Jum’at, kaum muslimin selalu diingatkan dalam khutbah untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan, berlaku adil dan berbuat kebaikan. Satu bulan penuh di Bulan Ramadhan, kaum muslimin juga melaksanakan puasa, suatu bentuk ritual keagamaan yang penting bagi pembentukan spiritualitas, moralitas dan solidaritas sosial. Bahkan dalam setiap tahun, ribuan kaum muslimin berangkat menunaikan ibadah haji dan umrah ke baitullah. Suatu ritual keagamaan yang tidak saja membutuhkan kearifan spiritualitas dan kekuatan fisik, melainkan juga membutuhkan modal kapital yang banyak.

Idealnya, beberapa bentuk ritual keagamaan di atas, dapat merefleksi dalam berbagai kearifan hidup dan mendorong lahirnya kesalehan sosial. Tetapi, sayangnya bersamaan dengan merebaknya kesadaran keagamaan tersebut, berbagai praktek ‘kemungkaran dan kezaliman’ justru semakin merajarela. Ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, kejahatan politik, kesenjangan kaum kaya dan kaum miskin, penindasan dan ekploitasi atas kaum lemah, muncul menjadi pemandangan keseharian di sekitar kita. Kue pembangunan bangsa hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama orang yang punya kekuasaan politik dan punya kekuasaan ekonomi (modal, kapital), sementara masyarakat lemah semakin termiskinkan dan termarjinalkan. Lihat saja, orang beragama Islam yang punya kuasa politik dan kuasa kapital, masih bisa bersenandung dan berpesta makanan lezat, sementara masyarakat miskin di sekelingnya menderita kelaparan; dan sementara mereka yang tergusur rumahnya merasa kedinginan di malam hari dan kepanasan di siang hari.

Oleh karena itu, agama dalam bentuknya yang bersifat ibadah ritual seperti salat, puasa dan haji, tidak bisa lagi memberikan pencerahan dan pembebasan dari segala bentuk kemungkaran dan kezaliman sosial. Akibatnya, agama yang dahulu diturunkan sebagai kritik atas realitas social dan budaya yang timpang, kini telah bergeser menjadi semacam penjaga kursi kekuasaan yang munkar dan zalim. Atau semacam alat pembenaran atas tindak kebencian, kekerasan, intoleransi, dan penindasan baru terhadap sesama manusia.

Timbul pertanyaan, mengapa kesalehan individual tidak mengimbas pada kesalehan sosial? Mengapa makin banyak kegiatan agama dan dakwah tetapi korupsi, kekerasan, penganiayaan dan kejahatan makin bertambah banyak? Bagaimana bentuk hubungan kesalehan individual dengan kesalehan sosial? Berbagai masalah inilah mungkin yang dapat kita diskusikan dalam makalah singkat ini.

Dalam kerangka inilah diperlukan suatu ikhtiar untuk menyegarkan kembali wacana agama yang mencerahkan dan membebaskan, menciptakan beberapa kesalehan sosial, serta mempersempit ruang bagi tumbuh dan berkembangnya kemungkaran dan kezaliman sosial.

Kesalehan Sosial dalam Islam

Agama pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk melakukan komunikasi ruhani dengan Tuhan. Lebih dari itu, agama merupakan upaya manusia untuk meneladani sifat atau akhlak Tuhan sesuai kapasitas kemanusiaannya (takhallaqa bi akhlaqillah ala taqathil basyariyah). Konsep agama ini mengandung implikasi ajaran yang lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia adalah untuk beribadah, mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. 51: 56) Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang menjadi isue utama manusia.

Tetapi kemudian konsep agama ini memiliki arus balik kepada manusia. Agama tidak hanya berdimensi ritual-vetikal (hablun minallah), melainkan juga mencakup dimensi sosial-horizontal (hablum minan nas). Agama tidak hanya mengurusi persoalan ibadah-ritual (iman) untuk pembentukan kesalehan individual (private morality), akan tetapi yang terpenting dari itu adalah mewujudkan iman tersebut dalam pembentukan kesalehan sosial (social morality)-nya. Sebab, kesalehan individual tidak akan memiliki makna apapun, jika tidak dapat menciptakan kesalehan dalam kenyataan sosial. Itulah makna hakiki dari kehidupan beragama. Karena itu, bisa disebut bahwa, sikap keberagamaan yang tidak melahirkan kesalehan sosial, maka akan kehilangan maknanya yang hakiki.

Islam adalah agama yang selalu mempertautkan antara kedua kesalehan tersebut, yaitu kesalehan yang bersifat religius individual dengan kesalehan yang bersifat sosial. Dalam Islam orang yang telah mencapai puncak kualitas keagamaan (taqwa, al-muttaqîn) digambarkan sebagai, di samping memiliki kesadaran transenden (keimanan), juga memiliki komitmen sosial untuk membangun masyarakat yang saleh (good society) secara sosial, ekonomi, politik, dan kulturalnya (QS. 2: 1-5, 177).

Perhatian Islam terhadap kesalehan religius-individual dan kesalehan sosial di atas, juga dapat ditemukan dalam sejumlah riwayat yang sangat populer, di antaranya disebutkan bahwa “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memulyakan tetangga, tamu, dan hendaklah berkata yang baik-baik atau kalau tidak bisa, hendaklah diam” (HR. Mutafaq Alayh). Dalam sebuah hadits Qudsi juga di sebutkan bahwa “Demi Allah, demi Allah, tidaklah beriman… orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan buruknya… yakni kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan” (HR. Mutafaq Alayh).

Kedua riwayat di atas, menjelaskan ajaran fundamental Islam bahwa keimanan harus memberikan implikasi pada kehidupan praksis sosialnya. Bahkan Islam memandang mereka yang tidak memiliki komitmen dan kepekaan sosial (sense of social crisis) sebagai membohongkan agama (QS. 107: 1-3). Inilah sekali lagi, hakikat makna iman, yaitu memberikan arti terhadap makna sosialnya. Dengan kata lain, iman akan kehilangan arti pentingnya, jika tidak memiliki implikasi dalam kehidupan praksis sosialnya. Itulah sebabnya, dalam Al-Quran iman—tidak kurang dari 36 kali—selalu dikaitkan dengan amal saleh (misalnya: QS. 2: 62; 5: 69; 6: 54; 18: 88; 19: 60, dan ayat lainnya). Kaitan terkuat dari hubungan semantik Al-Quran, mengikat shâlih (kesalehan) dan îmân sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Seperti bayangan mengikuti bentuk bendanya, di mana ada îmân di situ ada shâlihat (amal shaleh).

Dengan demikian, kesalehan sosial dalam Islam sesungguhnya lebih merupakan aktualisasi atau perwujudan iman dalam praksis kehidupan sosial (a faith of social action). Indikator kesalehan sosial tersebut adalah adanya penyempitan ruang gerak bagi tumbuh-berkembangnya kemungkaran dan kezaliman sosial, baik dalam bentuk ketidakadilan politik dan distribusi kekayaan, kesenjangan kelas kaya dan miskin, maupun dalam bentuk penindasan dan eksploitasi manusia atas manusia (exploitation man by human being).

Jumat, 14 Maret 2008

Agama Islam dan Budaya Sunda

Kebudayaan yang dianut oleh masyarakat Sunda bisa disebut dengan Kebudayaan Sunda. Ia berupa semua sistem gagasan, aktifitas dan hasil karya manusia Sunda yang terwujud sebagai hasil interaksi terus menerus antara manusia Sunda sebagai pelaku dengan latar tempat ia hidup, dalam rentang waktu yang sangat panjang dan suasana yang bermacam-macam dialaminya. Boleh dikatakan bahwa kebudayaan Sunda adalah milik masyarakat Sunda yang diperoleh dari hasil proses adaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terus menerus dalam jangka waktu yang sangat lama. Perubahan terhadap setiap unsurnya dan hubungan unsur-unsur itu satu sama lainnya berpengaruh kepada kebudayaan Sunda secara keseluruhan.

Ketika seorang manusia Sunda mencoba mengabaikan atau menolak budaya Sunda maka manusia Sunda tersebut telah mengabaikan atau menolak seperangkat nilai yang terbentuk dari hasil proses adaptasi kolektif manusia Sunda dengan lingkungannya yang sudah sekian lama diakui sangat ampuh sebagai alat untuk melindungi masyarakat Sunda dari kerusakan ketika mereka berhadapan dengan berbagai perubahan lingkungan fisik dan nonfisik. Dengan kata lain, budaya Sunda adalah perangkat yang memberikan daya tahan kepada masyarakat Sunda untuk tetap lestari.

Kebudayaan Sunda adalah sumber kerangka acuan masyarakat Sunda ketika mereka berhadapan dengan berbagai perubahan. Suatu perubahan itu ditolak atau diterima oleh masyarakat tergantung kepada sejauh mana perubahan itu bisa diterima oleh kebudayaaanya. Oleh karena itu suatu perubahan yang akan dilakukan terhadap masyarakat Sunda mestilah mempertimbangkan aspek tradisi dan kebudayaan masyarakat Sunda itu sendiri. Ketika suatu perubahan yang berasal dari suatu unsur kebudayaan asing terlalu berbeda jauh dengan kebudayaan Sunda maka perubahan itu akan sangat lama diterima untuk menjadi bagian dari kebudayaan Sunda. Pertama-tama perubahan itu akan ditolak karena dianggap kontra budaya atau unsur budaya yang berlainan, tapi lambat laun perubahan itu sedikit demi sedikit akan diterima menjadi sub budaya dan selanjutnya, dalam waktu yang relatif lama, akan diterima menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan Sunda.

Begitu pula halnya mengenai agama orang Sunda. Semua agama yang masuk ke tatar Sunda akan diseleksi mana yang sesuai (tidak jauh berbeda) dengan kepribadian budaya Sunda dan mana yang berlainan (sangat jauh) dengan kepribadian budaya Sunda. Sebab agama yang datang ke tatar Sunda adalah agama yang sudah dibungkus dengan kebudayaan dimana agama itu berasal. Termasuk Agama Islam ketika datang ke tatar Sunda pada awalnya disebarkan oleh orang-orang yang berasal dari tempat yang mempunyai kebudayaan tertentu seperti dari India, Arab dan Persia, yang secara otomatis telah menjadi warna dan ciri tersendiri dari ajaran Islam itu sendiri. Proses Islamisasi bisa dipandang sebagai suatu proses pertemuan antar dua kebudayaan atau lebih, yaitu antar kebudayaan penyebar agama Islam dengan kebudayaan penerima agama Islam. Oleh karena itu, proses penyebaran agama Islam di tatar Sunda adalah suatu bentuk proses asimilasi, akulturasi dari berbagai budaya yang datang (Arab, Persia, dan India) dengan budaya lokal Sunda yang membentuk kebudayaan Sunda Islam kiwari seperti yang kita saksikan sekarang.

Agama Islam begitu mudah diterima oleh urang Sunda. karena karakter agama Islam tidak jauh berbeda dengan karakter budaya Sunda yang ada pada waktu itu. Sedikitnya ada dua hal yang menyebabkan agama Islam mudah dipeluk oleh urang Sunda. Yang pertama, ajaran Islam itu sendiri yang sederhana dan mudah diterima oleh kebudayaan Sunda yang juga sederhana. Ajaran tentang akidah, ibadah terutama akhlak dari agama Islam sangat sesuai dengan jiwa urang Sunda yang dinamis. Yang kedua, kebudayaan asal yang menjadi “bungkus” agama Islam adalah kebudayaan timur yang tidak asing bagi urang Sunda. Oleh karena itu, ketika urang Sunda membentuk jati dirinya berbarengan dengan proses Islamisasi, maka agama Islam merupakan bagian dari kebudayaan Sunda yang terwujud secara tidak sadar menjadi identitas kesundaan mereka.

Islam masuk ke dalam kehidupan masyarakat sunda melalui pendidikan dan dakwah, bukan dengan jalan penaklukan. Hal tersebut membuat wajah Islam di tatar Sunda berbeda dengan Islam yang disebarkan dengan cara peperangan (paksaan). Kalau di daerah lain agama Islam dianggap sebagai kekuatan asing yang sukar bersatu dengan kebudayaan setempat, maka di masyarakat Sunda, Islam dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan dirinya sendiri. Oleh karena itu, sejak diperkenalkan pertama kali oleh Syekh Syarif Hidayatullah (1470M) di sebelah timur dan kesultanan Banten di sebelah barat, agama Islam terus menyebar ke seluruh pelosok tatar Sunda dengan tanpa hambatan yang berarti. Dengan tidak terasa orang sunda memeluk Islam seperti belajar kebudayaan sendiri, lambat tapi pasti Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Menurut hasil sensus penduduk tahun 2000 agama Islam di Jawa Barat dipeluk oleh 37.606.317 orang yang merupakan 98% dari jumlah penduduk Jawa Barat. Tercatat pula 172.523 buah mesjid, 4.772 buah pesantren, 150.927 orang Kiyai, 35.495 orang Ulama, dan 36.201 orang mubaligh yang tersebar merata di seluruh pelosok JawaBarat. Dengan keadaan seperti tersebut di atas dapat di katakan bahwa rakyat Jawa Barat (Sunda) hampir seluruhnya beragama Islam atau dengan kata lain bahwa agama orang Jawa Barat (Sunda) adalah agama Islam.

II

Para pengamat banyak yang mengatakan bahwa kebudayaan Sunda sekarang sulit dipisahkan dengan ajaran agama Islam, sehingga ada ungkapan bahwa Sunda adalah Islam. Ungkapan tersebut untuk pertama kali dilontarkan oleh almarhum Endang.Saefuddin.Anshori, salah seorang Intektual Sunda walaupun beliau bukan keturunan Sunda tetapi lahir dan dibesarkan di tatar Sunda juga berbicara sehari-hari memakai bahasa Sunda. Ungkapan tersebut kemudian menjadi keniscayaan di tengah masyarakat Sunda. aneh lamun aya urang Sunda lain Islam. Hal tersebut lebih memberi tekanan kepada fakta bahwa mayoritas masyarakat Sunda adalah beragama Islam atau kebanyakan urang sunda berkeyakinan tauhid kepada Allah.

Asimilasi dan akulturasi antar dua kebudayaan atau lebih akan melahirkan suatu bentuk kebudayaan baru yang merupakan hasil titik temu dari proses pembauran terus menerus antara berbagai kebudayaan yang berbeda tersebut. Titik temu antara nilai-nilai Sunda dengan nilai-nilai Islam adalah lebih banyak pada etika atau tatakrama. Sistem muamalah yang diajarkan Islam menemukan realitas empirisnya dalam kehidupan masyarakat Sunda. Apa yang dicita-citakan oleh masyarakat Sunda tentang cageur bageur, someah ka semah, nyaah ka sasasama sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip-prinsip ulah ngarawu ku siku dalam pemilikan harta dan jabatan, ulah kaleuleuwihi dalam makan dan minum menemukan kaidah Zuhud dan Qonaah dalam .ajaran tasawuf.

Dan dalam tingkatan tertentu pengaruh agama Islam pada kehidupan orang-orang Sunda dapat dilihat dari beberapa hukum adat yang mereka praktekan dalam bermasyarakat. Hampir di seluruh tempat yang dihuni oleh orang Sunda di Jawa Barat penyelenggaraan hukum waris diatur menurut ajaran faraidh fiqh Islam. Dalam perkawinan juga dilaksanakan secara fiqh Islam yang dipadukan dengan upacara adat, seperti: nyeuyeuk seureuh, buka pintu, sawer, dan huaplingkung. Meskipun, umumnya upacara adat seperti itu dilakukan setelah akad nikah dilangsungkan.

Yang berhubungan dengan proses kehidupan manusia juga dikenal dengan upacara lingkaran hidup (circle life), yaitu upacara untuk menangkal malapetaka yang mungkin muncul saat manusia berada dalam waktu-waktu krisis. Mulai manusia masih dalam kandungan ibunya sampai manusia itu mati diadakan upacara, misalnya babarik, opat bulan jeung tujuh bulan, mahinum, nyusur tanah, tiluna, tujuhna, matangpuluh, natus, merupakan upacara adat yang dipadukan dengan do’a-do’a dari ajaran Islam. Dalam kesempatan itu, para pemimpin agama yang bijaksana biasanya memberitahukan kepada para hadirin, bahwa upacara adat tersebut bukan merupakan kewajiban utama yang harus dilakukan oleh orang Islam. Demikian juga dalam masalah jual beli, pola makan di beberapa tempat, ajaran Islam telihat melekat di dalamnya.

Di samping itu ada suatu kebiasaan pada sebagian orang Sunda yang suka memuliakan waktu atau tanggal tertentu, yang dianggapnya lebih mulia dari waktu yang lainnya, seperti bulan Maulud (Mulud menurut lafal orang Sunda). Menurut kepercayaan orang kampung di Priangan, bulan Mulud merupakan bulan yang istimewa. Dalam bulan ini banyak sekali anjuran dan sekaligus banyak pula pantangannya bagi aktivitas tertentu. Bagi orang yang ingin mematangkan satu ilmu, maka dianjurkan untuk dilaksanakan pada bulan Maulud. Misalnya untuk mematangkan ilmu penca, ilmu kebal atau ilmu kedigdayaan lainnya. Oleh karena itu, dikampung-kampung di wilayah Priangan ada istilah “ngamuludkeun” (membersih-kan dalam bulan Maulud) barang-barang pusaka atau kramat, seperti keris, gung, payung; atau mandi di sungai dengan kembang tujuh warna dan sebagainya. Sebaliknya banyak yang percaya bahwa pada bulan ini, harimaupun akan mengasah kukunya, khususnya pada tanggal 14 Maulud waktu bulan purnama.

Dalam sistem kepercayaan orang Sunda terdapat kepercayaan kepada kekuatan super natural yang paling tinggi, yang sangat berkuasa dan menentukan segalanya. Yaitu Gusti Allah, Pangeran murbeng alam. Kepada tuhanlah seluruh manusia harus berbakti dan mengabdi dengan sungguh-sungguh. Allah murba wisesa, dalam arti sempurna kepandaiannya. Walaupun di kalangan tertentu masih terdapat kepercayaan sisa-sisa agama terdahulu tetapi pada umumnya orang sunda telah memberikan hatinya untuk Iman kepada gusti Allah dan meyakini aqiedah Islam yang lainnya. Kangjeng Nabi Muhammad adalah sebutan penghormatan kepada Nabi Muhammad, yang diyakini sebagi nabi terakhir. Muludan adalah suatu perayaan untuk menghormati kelahiran nabi Muhammad yang diisi oleh sidekah mulud dan pengajian bersekala besar dengan mengundang mubaligh dari daerah lain yang lebih terkenal.

Al-qur’an menjadi bacaan wajib bagi kebanyakan masyarakat sunda. Hampir dipastikan anak-anak mulai berumur tujuh tahun telah diperkenalkan membaca al-qur’an walaupun dengan cara sederhana ( alip-alipan, ngejah, narabas ). Terutama di daerah pedesaan belajar al-qur’an biasanya pada sore hari atau setelah sholat (sambeyang) maghrib. Pada waktu-waktu tersebut akan terdengar dari seluruh pelosok kampung suara anak-anak membaca al-qur’an dengan suara nyaring . Ketika seorang anak telah menamatkan bacaan al-qur’an tigapuluh juz, maka orang tuanya mengadakan perayaan khataman, yaitu acara salametan dengan mengundang tetangga untuk hadir di rumah atau di mesjid untuk mendengarkan bacaan terakhir anak yang khatam qur’an dan diikuti oleh makan nasi tumpeng bersama dengan lauknya daging ayam yang dipanggang ( bakakak).

Dalam bidang arsitektur masjid di tatar sunda berbeda dengan arsitektur mesjid di negara timur tengah yang di dominasi oleh garis lengkung dan berkubah. Kebanyakan masjid dan tajug di tatar sunda berupa bangunan sederhana dengan arsitektur yang kalau dilihat secara sepintas tidak jauh berbeda dengan bentuk rumah penduduk. Bentuk yang paling banyak adalah dalam bentuk atap tumpang dua atau tiga dengan model nyungcung . Oleh karena itu, mesjid-mesjid di tatar sunda dikenal juga dengan sebutan Bale Nyungcung. Sebelum ada Kantor Urusan Agama (KUA) mesjid dipakai untuk kegiatan acara ijab qobul pernikahan, sebagai bale nyungcung mesjid di tatar Sunda identik dengan kegiatan perkawinan.

Walhasil, dalam kasus-kasus di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip ajaran Islam dapat mengakomodasikan nilai-nilai budaya Sunda, dan prinsip budaya Sunda dapat mengakomodasikan nilai ajaran Islam. Maka sekarang, persoalannya bukan terletak pada bagaimana menyundakan Islam dan meng Islamkan Sunda, tetapi bagaimana antara keduanya dapat bersinergi melahirkan sosok insan kamil, luhung elmuna pengkuh agamana jembar budayana. Islam adalah ajaran yang universal melintasi batas-batas etnis, ras dan budaya, sedangkan budaya Sunda adalah budaya yang sangat terbuka dan merespon positif setiap nilai baru yang memungkinkan dirinya untuk lebih maju dan dinamis. Sebagai orang Sunda, tantangan terbesar adalah, bagaimana orang Sunda dapat tampil ke muka dengan segala identitas keSundaan yang mempunyai jiwa kosmopolitan ajaran Islam. Dan kewajiban bagi setiap orang Islam Sunda untuk membuktikan bahwa dengan semangat jihad Islamlah, Sunda akan terus nanjung, dan dengan kekayaan budaya Sundalah, Islam akan tetap agung.


III

Agama ( termasuk Islam) adalah mencakup sistem kepercayaan (iman) yang diwujudkan dalam sistem perilaku sosial para pemeluknya. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. Karena itu, keagamaan yang bersifat subyektif, dapat diobyektifkan dalam pelbagai macam ungkapan, dan ungkapan-ungkapan tersebut mempunyai struktur tertentu yang dapat dipahami.

Terdapat hubungan interdependensi yang terusmenerus antara agama dan masyarakat, dan terdapat pengaruh timbal balik antara kedua faktor tersebut. Pertama, pengaruh agama terhadap masyarakat seperti yang terlihat dalam pembentukan, pengembangan, dan penentuan kelompok “keagamaan spesifik” yang baru atau pada norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat. Kedua, pengaruh masyarakat terhadap agama. Dalam hal itu, faktor-faktor sosial yang memberikan nuansa dan keragaman perasaan dan sikap keagamaan yang terdapat dalam suatu lingkungan atau kelompok sosial tertentu.

Dengan demikian, dimensi esoterik dari sesuatu agama atau kepercayaan tertentu pada dasarnya tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dimensi lain di luar dirinya. Selain dibentuk oleh substansi ajarannya, dimensi ini juga dipengaruhi oleh struktur sosial dimana sesuatu keyakinan itu dimanifestasikan oleh para pemeluknya. Sehingga dalam konteks tertentu, di satu sisi, agama juga dapat beradaptasi, di samping pada sisi yang berbeda, ia dapat berfungsi sebagai alat legitimasi dari proses perubahan yang terjadi disekitar kebudayaan para pemeluknya. Sebagi contoh, orang Sunda dalam beragama tidak terlalu menonjolkan formalisme agama, tetapi mereka lebih menyukai subtansi agama yang telah diwujudkan dalam kehidupan sehari hari dengan nama yang bukan agama. Selain itu, orang Sunda lebih fleksibel dalam mensikapi berbagai macam aliran keagamaan yang berkembang di lingkungannya. Sehingga mereka bisa menerima kehadiran berbagai kelompok kegamaan selama mereka tidak menyimpang terlalu jauh dari tradisi kesundaan.

Agama sangat berhubungan dengan persoalan mentalitas. Dalam mentalitas budaya Sunda mempunyai dua dimensi yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan. Di satu sisi mentalitas budaya yang bersumber dari cita-cita dan harapan orang Sunda sebagaimana yang tercermin dalam tradisi lisan yang beredar di kalangan masyarakat Sunda. dan di sisi lain mentalitas budaya itu sebagaimana yang dapat dilihat dari kehidupan masyarakat Sunda dewasa ini.

Aspek yang pertama, mentalitas sebagai semangat budaya atau sistem nilai budaya, tergambar dari sejumlah kecenderungan masyarakat dalam memandang kehidupan, tentang tujuan dan harapan-harapan masyarakat. Di Sunda pandangan terhadap kehidupan ini tergambar dalam sistem nilai yang terungkap dalam “uga”. Sementara itu, mentalitas tergambar dalam pola interaksi sosial, bahasa, pola perilaku yang terkristalisasi dalam pantangan dan pamali.

Dalam tradisi masyarakat Sunda, kedua aspek ini teramu dalam suatu gambaran satu tokoh yang dikenal hampir di seluruh masyarakat Sunda, yaitu ceritera rakyat Sikabayan. Suatu tokoh yang menurut, Utuy Tatang Sontani sebagai manifestasi pribadi manusia yang sudah menemukan puncak kesehatan lahir bathin, yaitu pribadi yang sudah “ teu naon-naon ku naon-naon”. Sosok individu yang telah memiliki integritas diri yang telah tidak terpengaruh aspek-aspek luar, khususnya aspek duniawi. Si Kabayan dapat memandang kehidupan dunia ini sebagai “ Heuheuy jeung deudeuh” artinya kehidupan dunia ini adalah sendagurau dan kasih sayang. Hal tersebut cocok dengan ayat al-qur’an “ Innal hayata dunya laibun wa lahwun” dan hadits nabi “sayangilah yang ada di bumi nicaya engkau akan disayangi oleh zat yang ada di langit”. Selanjutnya, Utuy T. Sontani menjelaskan bahwa tokoh Si Kabayan merupakan manifestasi jiwa orang Sunda yang “cageur jeung bener” (sehat lahir bathin).

IV

Di era modern, gerakan modernisme, yang kadang lebih bernuansa westernis-me (kebarat-baratan) menggejala diseluruh pelosok dunia dan mempengaruhi bahkan mengubah struktur dan sistem nilai budaya lokal, termasuk sistem nilai agama dalam masyarakat Sunda. Secara radikal, sesungguhnya bukan hanya terjadi saat gerakan modernisme, akan tetapi terjadi sejak masa penguasaan Sunda oleh mataram. Masuknya Mataram ke tatar Sunda, ternyata bukan hanya terjadi proses Islamisasi, sebagai dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Djati (Cirebon), akan tetapi juga terjadi “jawanisasi” yang bernuansakan primodialisme. Sistem nilai budaya egalitarian, kesederhanaan (tradisi huma) dan spiritualisme masyarakat Sunda beralih pada sistem nilai “sawah” dan sistem nilai feodal. Hal ini tampaknya dan terasa sampai sekarang dengan munculnya fenomena kebahasaan. Undak-unduk bahasa Sunda sebelumnya tidak dikenal masyarakat Sunda (lihat struktur bahasa Sunda Banten, atau sejumlah struktur bahasa Sunda yang ditemukan didaerah-daerah tertentu). Undak-unduk bahasa yang kadang dijadikan indikasi kesopanan dan kelas sosial masyarakat ini, pada kenyataannya lebih menggambarkan kelas sosial yang bernuansa primodalistik.

Perubahan nilai budaya tersebut, diperkuat dan dilanjutkan oleh kolonialisme Belanda. Kultur Feodal mendapatkan legitimasi dan kekuasaan kolonial, karena kultur feodal lebih memudahkan proses penaklukan wilayah jajahan, koloni. Dan selanjutnya gerakan modernisasi yang merambah dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, telah semakin menjauhkan masyarakat Sunda dari akar budayanya. Distansi tersebut telah melemahkan kekuasaan spiritual-budaya masyarakat Sunda.

Karakteristik modernism yang rasionalistik, dan pragmatis (materialistik) telah semakin menjauhkan budaya Sunda pada mainstream, nilai-nilai primordial. Keadaan ini didukung oleh miskinnya artefak budaya masa lalu masyarakat Sunda, sebagai jejak merekatkan batinnnya pada masa lalunya. Sejarah masa lalu menjadi hanya tidak sekedar mitos atau legenda belaka. Mitologis sejarah budaya Sunda, telah meletakkan sejarah masa lalunya dengan paham Islam modern yang tidak pernah bisa berkompromi dengan pandangan-pandangan mitologis.

Tingkat akomodasi budaya Sunda terhadap ajaran Islam dan tingkat akomodasi terhadap bahasa Sunda mengalami kelemahan, bahkan mengalami keruntuhan. Pada akhirnya terjadi “gap” antara budayawan Sunda dengan para santrinya.

Namun demikian, ternyata, karakteristik masyarakat Sunda tidak memiliki kekuatan yang prima untuk berhadapan dengan kultur modernisme. Hal ini tergambar dari fenomena spiritualisme dikalangan masyarakat Sunda. Realitas seperti ini ditandai dengan menjamurnya kecenderungan masyarakat Sunda untuk masuk tarekat. Baik dari kalangan masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah maupun menengah ke atas. Bahkan fenomena ini pun ditemukan dari kalangan intelektual. Dengan demikian para aura primordial Sunda sesungguhnya masih berhembus kencang dikalangan masyarakat Sunda. Aura yang muncul dari pandangan cosmologies masyarakat Sunda yang feminist. Suatu pandangan kosmologis yang melahirkan dua kecenderungan bathini dalam masyarakat Sunda yaitu kecenderungan mutual struggle dan mutual id. Mutual struggle, merupakan suatu ethos yang muncul dari bawah sadar sistem nilai budaya dan individual masyarakat untuk berusaha senantiasa bertahan, mempertahankan integrasi individu dari tekanan-tekanan dari luar. Dan mutasi id, suatu pola pertahanan yang dikembangkan melalui kekuatan komunal, saling bantu dan tolong menolong. Komunitas dijadikan kekuatan dan dasar individu untuk bersandar dari gempuran sistem nilai budaya dan lingkungan fisik lainnya.

Assalamu'alaikum

Selamat berjumpa. terimakasih atas kunjungan anda ke blog saya, ini tempat bersilaturahmi antar sesama kita orang beriman apapun agamanya dan suku bangsanya serta adat istiadatnya.

Pengunjung dipersilahkan untuk memberikan komentar apapun, baik saran maupun kritik atas blog ini maupun terhadap isi pemikiran saya, karena hal tersebut sangat bermanfaat bagi saya yang juga manusia dengan banyak kelemahan.

Kehidupan manusia di zaman sekarang ini memerlukan dialog dan komunikasi yang intens supaya tidak terjadi salah pengertian yang akibatnya memicu konflik dan kesalahpahaman.

Kehidupan harmonis, keterbukaan, toleransi dan empati merupakan idaman saya dalam hidup di masyarakat yang makin majemuk ini. Semoga dunia damai penuh dengan kasih sayang diantara penghuninya.

Sekian dan terima kasih