Jumat, 20 Juni 2008

Wawancara: Agama Melarang Umatnya untuk Hidup dalam Kemiskinan

Berikut merupakan kutipan ketika saya diwawancara oleh wartawan dari Majalah Swadaya, Ahmad Sahidin, mengenai kemiskinan di kalangan umat Islam.

Indonesia sebagai negara mayoritas Muslim nasibnya sangat mengkhawatirkan. Berbagai masalah seperti kemiskinan, pendidikan yang rendah dan tak berkualitas atau kesenjangan sosial, dari tahun ke tahun makin meningkat. Mengapa ini bisa terjadi?

Ya, memang itu masalah yang hingga kini belum selesai. Menurut saya, permasalahannya terletak pada sumber daya manusia di Indonesia belum kuat. Belum optimal. Hal ini terjadi karena saling keterkaitan antara kemiskinan dengan pendidikan yang rendah. Entah karena pendidikan yang rendah mengakibatkan kemiskinan atau sebaliknya. Namun, ini harus kita sadari bahwa kedua masalah ini perlu dituntaskan dengan segera.

Untuk mengatasi pendidikan yang rendah harus ada kepedulian dan perhatian dari pemerintah untuk meningkatkan penyebaran pendidikan yang merata di seluruh Indonesia. Sehingga, mereka (masyarakat miskin–red) dapat menikmati pendidikan setinggi-tingginya dengan biaya sangat rendah. Karena itu, bila sumber daya manusia itu bagus, kuat, maka akan menghasilkan produk-produk yang bagus pula. Oleh karena itu, produk-produk yang dihasilkan masyarakat Indonesia itu akan berguna bagi kepentingan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Sebenarnya, masalah-masalah tadi merupakan tanggungjawab pemerintah Indonesia terhadap rakyatnya. Sejauh ini, bagaimana Bapak melihat usaha pemerintah untuk mengatasi persoalan ini?

Sejak negeri ini merdeka pada tahun 1945 hingga sekarang, saya belum melihat keseriusan pemerintah dalam menangani masalah pendidikan dan kemiskinan. Dulu kan cuma dianggarkan sekitar 7 % atau di bawah 10 %. Alhamdulillah, melalui amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dilahirkan MPR tahun 1999-2004, di sana dicantumkan minimal 20 % pemerintah harus menganggarkan dana bagi kepentingan pendidikan. Ini harapan besar bagi kita, jika alokasi pendidikan sudah mencapai sebesar itu, dan bila didukung semua atau swasta yang punya keberpihakkan, insya Allah akan menghasilkan pemerataan dalam pendidikan dan peningkatan kualitas pendidikan.

Dalam UUD 1945 disebutkan bahwa anak-anak miskin dan terlantar dipelihara negara atau mendapatkan jaminan hidup dari pemerintah. Namun, faktanya belum terwujud. Bagaimana ini?

Ya, memang belum terwujud. Saya kira itu tuntutan dari konstitusi yang harus menjadi perhatian pemerintah sekarang ini. Memang, masalah kemiskinan di Indonesia ini bagaikan piramida. Terlalu banyak orang miskin dibandingkan orang kaya. Terlalu banyak mustahik (penerima zakat—red) dibandingkan muzaki (pemberi zakat—red). Jadi, walaupun semua orang kaya di Indonesia mengeluarkan zakatnya, 2.5 %, pasti tidak akan mencukupi karena orang yang menerimanya terlalu banyak. Prosentasenya tidak seimbang.

Jadi, jika pemerintah mengurus kemiskinan dan anak-anak terlantar di seluruh Indonesia, maka akan kehabisan devisa atau anggaran negara. Pasti tidak akan cukup. Meski begitu, tetap saja pemerintah harus memerhatikan dan bekerja keras mengurus dan mencarikan solusi yang terbaik untuk orang-orang miskin dan anak-anak terlantar agar sejahtera. Sehingga, dari tahun ke tahun orang-orang miskin atau anak-anak terlantar itu jumlahnya berkurang. Kalau sekarang kan sektor swasta yang banyak menanggulangi orang-orang miskin dan anak-anak dhuafa terlantar. Contohnya Muhammadiyah, ormas (organisasi masyarakat—red) yang banyak membuat amal-amal usaha yang diperuntukan untuk orang-orang miskin. Muhammadiyah membuat panti asuhan, rumah sakit, sekolah-sekolah, dana usaha kredit mikro, dan pembinaan keagamaaan, yang semuanya itu sebagai bentuk pelayanan publik.

Jadi, pemerintahan kita ini melaksanakan amal sholih?

Amal shalih itu memerhatikan kehidupan masyarakat miskin dan sosial. Setiap kata-kata iman kepada Allah dalam Al-Quran pasti diiringi dengan amal shalih. Hal ini menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap masyarakat dhuafa dan kepedulian sosial.

Menurut Nabi Muhammad SAW, tidak akan disebut beriman kamu bila tidak memerhatikan saudaramu sendiri. Jadi, yang diajarkan Nabi di masa awal Islam, di Mekah, tentang kepedulian sosial. Sedangkan, ukuran orang yang disebut beragama itu, dalam surat Al-Maun disebutkan, orang yang termasuk beragama itu adalah mereka yang memberi makan anak yatim dan tidak menelantarkan atau menghardiknya.

Kalau begitu, standarnya orang beragama itu adalah yang mempunyai kepedulian sosial terhadap kehidupan masyarakat dhuafa?

Ya, itu memang yang tercantum dalam Al-Quran. Pendusta agama itu orang yang tidak memberi makan orang miskin atau menghardik anak yatim. Ya memang ini yang dilakukan Rasulullah sebelum memberikan pembinaan syariat agar mereka bisa benar-benar merasakan manfaatnya peran sosial agama.

Bila kita analisa, kenapa posisi agama itu tidak nampak berperan dalam kehidupan sosial, itu karena pola dakwah yang terlalu koginitif. Pembinaan dakwah kita hanya sebatas pemikiran dan informasi saja. Belum menyentuh pada pola dakwah yang aplikatif pada psikomotorik atau keperibadian.

Saya melihat banyak orang yang berpengetahuan agamanya tinggi, tapi perilakunya tak mencerminkan orang beragama. Adakalanya kiyai tidak sesuai dengan ke-kiyai-annya. Ada juga sarjana yang tidak sesuai dengan kesarjanaannya. Inilah yang ada di masyarakat kita. Karena itu, untuk saat ini sangat dibutuhkan pola dakwah membina keperibadian orang dan memerhatikan hal-hal praktis bagi masyarakat. Misalnya, kita ajak masyarakat untuk yakin dan berusaha dalam mengisi kehidupan dunia dengan baik. Kita arahkan masyarakat, bila sakit ajak ke dokter dan suruh berdoa kepada Allah, bukan ke dukun. Kita fasilitasi keberadaan anak-anak yatim dan dhuafa dalam panti-panti asuhan. Kita berikan dana usaha atau kredit mikro agar kaum miskin dan dhuafa bisa mempunyai penghasilan dan tetap beribadah. Ini yang kami lakukan di Muhammadiyah. Saya juga melihat ini dilakukan oleh Pesantren Daarut Tauhiid Bandung. Ini yang saya kira terbukti kontribusinya.

Benarkah ada nash-nash atau konsep teologis Islam yang menganjurkan umat Islam untuk hidup dalam kemiskinan?

Tidak. Saya kira kemiskinan itu sebuah kecelakaan. Sesuatu yang tidak diinginkan di dunia ini. Agama apa pun di dunia ini melarang umatnya untuk hidup dalam kemiskinan. Dalam Al-Quran saya menemukan kalimat, janganlah kamu meninggalkan anak-anakmu dalam keadaan lemah. Ini merupakan peringatan dari Allah SWT. Ada juga kalimat, Allah sangat mencintai orang-orang yang kuat, kaya, dan peduli pada orang-orang miskin. Kemiskinan itu sesuatu kecelakaan. Sebuah fungsi laten yang ada dalam kehidupan kita yang tak diinginkan. Fungsi manifesnya kan bahagia, sejahtera, makmur, tentram. Nah, fungsi latennya adalah kemiskinan.

Dalam ajaran agama kita pun ada hadits yang berbunyi bahwa kefakiran mendekatkan pada kekufuran. Fakir ini artinya orang-orang yang merasakan dirinya selalu tak cukup. Selalu mencari kepuasan dengan berbagai cara. Jika ada iming-iming harta, ia ikut ke sana. Memang, seperti itu ciri dan kelakuan orang fakir itu. Yang dianjurkan Allah SWT, pertama adalah harus qanaah, merasa cukup atas apa pun yang kita terima dari Allah SWT dalam kehidupan ini. Selalu bersyukur kepada Allah. Kedua, harus zuhud. Ia tidak terpengaruh dengan dunia. Meski ia kaya tapi tak diperbudak dengan harta atau dunia. Jadi, qanaah dan zuhud itu sesuatu pasangan yang baik yang perlu diterapkan dalam kehidupan kita.

Tapi, mengapa masih juga ada Umat Islam yang berada dalam kondisi yang memprihatinkan, baik itu secara keagamaan maupun sosial?

Ya, memang itu ada. Tapi yang jelas, jika umat Islam ingin kaya atau cukup dalam persoalan ekonomi dan terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, harus bisnis. Gali saja ilmu pengetahuan dan skill agar kita bisa bekerja dan mengisi kehidupan. Di dalam Al-Quran surat Mujadillah ayat 11 disebutkan, bahwa Allah akan mengangkat orang-orang beriman dan yang mempunyai ilmu pengetahuan beberapa derajat dari orang-orang biasa. Makna iman pada ayat ini adalah untuk memantapkan keyakinan kepada Allah atau menguatkan batin kita supaya baik, tenang, dan tentram. Sedangkan, ilmu maknanya dalam ayat tadi, untuk menggali atau mengembangkan usaha di dunia. Yang saya lihat di Indonesia ini, Umat Islam miskin bukan karena faktor keimanan. Tapi aspek ilmu dan rendahnya pendidikan sehingga kalah bersaing dengan dunia luar. Juga akses dalam informasinya sangat kurang.

Jadi, kalau ingin kaya, ya bisnis. Kuasai ilmunya. Cari modal yang cukup. Buka akses ke dunia pasar. Baru kemudian kuatkan dengan nilai-nilai keagamaan. Kalau tidak sinergis, dalam kehidupan dan fasilitas untuk hidup, maka tak akan terwujud. Jadi, faktor struktural dan infrastruktur harus dipadukan bila ingin sejahtera dan makmur.

Ada asumsi dari beberapa Harakah Islam Indonesia yang menganjurkan untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia, bila ingin meraih kemakmuran dan kesejahteraan di negeri kita. Komentar bapak?

Saya setuju. Itu boleh dilakukan asal untuk kesejahteraan ruhani kita. Tapi untuk kesejahteraan dunia, ya harus bisnis dan menguasai teknologi. Saya anjurkan pada semua Umat Islam untuk meningkatkan pendidikan kita lebih tinggi. Dengan pendidikan tinggi orang akan kreatif dan menghasilkan karya atau usaha yang berdaya jual. Dari sinilah kesejahteraan dan kemakmuran akan di dapat.

Jadi, bila Umat Islam Indonesia ingin meraih kemakmuran itu kuncinya iman, ilmu, dan amal atau aktivitas yang jelas dan menghasilkan. Jadi jangan terlalu simple atau instan dalam memahami kehidupan ini. Nabi Muhammad SAW saja berproses dalam menjalani kehidupan ini. Ia tidak menolak strategi perang dari Salman al-Farisi. Bahkan, dalam sejarah Nabi Muhammad SAW meminta suaka politik ke negeri Habsyi. Kita juga harusnya begitu, jangan menolak ilmu pengetahuan atau teknologi dan skill dari luar Islam.

Jadi, apa yang harus dilakukan Umat Islam agar kehidupannya makmur dan lebih baik?

Sekarang ini coba perbaiki ekonomi. Cari jalan atau strategi melalui ilmu pengetahuan bagaimana kehidupan ekonomi bisa maju. Orang miskinnya dihilangkan melalui pemberdayaan masyarakat. Baru nanti zakatnya bisa menghidupi orang-orang miskin.

Apakah Bapak yakin dana umat seperti zakat, infak, dan sedekah bisa jadi solusi dari berbagai masalah sosial dan ekonomi yang terjadi di negeri ini?

Pajak 15 % di Indonesia saja sudah tak cukup untuk menaikkan tarap hidup masyarakat Indonesia. Apalagi zakat yang hanya 2,5 %, pasti sangat tidak bisa mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Sebab, warga miskin di Indonesia ini lebih banyak dari yang kayanya. Yang membuat dunia ini berdaya adalah bila yang kaya lebih banyak dari orang-orang miskin. Begitu juga dalam kasus zakat, sekarang ini lebih banyak penerima zakat dibanding pembayar zakat.

Saya kemarin bersilaturahmi ke Nigeria, sebuah negara Muslim yang paling miskin di dunia. Negaranya berdekatan dengan Libya, yang sangat kaya raya dan makmur karena minyak. Memang, Libya memberikan bantuan untuk Nigeria, tapi tetap saja masih tak berdaya dan miskin. Sebab, dana yang dimiliki Libya tidak bisa memakmurkan seluruh warga Nigeria, apalagi bila pemimpinnya tak berdaya, ya sudah terpuruk. Meski ada bantuan, tapi jika tak ada dukungan dan kekuatan untuk bergerak dari pucuk pimpinan, ya lemah, atau tidak dimanfaatkan oleh kita. Malah dibawa pihak luar ke luar negeri.

Namun, kalau kita melihat negara Islam di Timur Tengah seperti Iran, Kuwait, atau Lebanon ternyata mampu membiayai masyarakat dhuafanya. Ini karena ada khumus, 20 % yang ditarik pemerintah dari orang-orang kaya. Kita lihat kemarin Hizbulloh di Lebanon, meski berperang melawan Israel, tapi masih bisa membangun kembali bangunan yang rusak akibat perang, dan bahkan Hizbulloh memberikan uang cuma-cuma kepada korban perang. Luar biasa, dananya itu berasal dari zakat dan khumus.

Saya pikir bila ingin terwujud masyarakat Muslim yang berdaya, harusnya ada kepedulian global dari negara-negara Muslim kaya dan memberikan bantuannya kepada negeri-negeri Muslim yang miskin seperti Indonesia ini.

Namun, hal itu sulit karena kita disekat dengan aspek kebangsaan. Belum lagi hingga saat ini umat Islam belum bersatu. Harusnya sih bersatu sehingga kepedulian global bisa terwujud. Ini penting diperhatikan, bahwa menolong sesama muslim itu sebuah kewajiban.

Ada hal lainnya yang perlu Anda (Majalah Swadaya—red) ketahui. Jika melihat Amerika dan Eropa, tiap bulannya pasti ada para artis atau bintang film yang dipenjara karena enggan bayar pajak atas kekayaannya itu. Di negeri kita ini kan banyak artis-artis atau publik figur yang pendapatannya besar, harusnya dipajak sesuai dengan besarnya kekayaan yang diperolehnya. Beri sanksi fisik agar tidak mempermainkan hukum. Begitu pun zakat. Umat Islam yang kaya harus bayar zakat dan beri sanksi bila tak membayarnya. Percayalah, meski tidak ada sanksi fisik dalam urusan zakat, Anda harus yakin bahwa orang yang tak zakat itu pasti dimiskinkan oleh Allah SWT. Ini ketentuan Allah.

Sejauh ini, bagaimana perkembangan lembaga-lembaga sosial atau ormas yang mengurus keberadaan kaum dhuafa?

Ya berjalan. Kami di Muhammadiyah masih terus memikirkan bagaimana orang miskin ini bisa terberdayakan. Kami beri kredit ekonomi mikro dan pelayanan-pelayanan publik. Sama seperti di Pesantren Daarut Tauhiid (DT). Saya apresiatif dengan dana usaha-dana usaha yang diberikan DPU DT. Itu positif.

Apa standar untuk mengukur keberhasilan sebuah lembaga sosial atau ormas dalam mengurus kaum dhuafa?

Ukurannya apakah lembaga itu mengurusnya berlangsung lama. Bisa bertahan lama. Kami mengurus hal-hal yang seperti ini sudah mencapai seratus tahun. Sampai sekarang ini kami terus melakukan perbaikan dan pengembangan. Kata Allah dalam Al-Quran, sesuatu yang tidak bermanfaat akan habis. Tapi yang bermanfaat akan berlangsung terus, abadi. Ukurannya begitu saja. Kalau hanya seremonial dan temporal, tidak bisa disebut berhasil.

Ada pesan moral untuk masyarakat?

Semua orang, terutama yang kaya dan berkecukupan, tolong perhatikan nasib orang-orang miskin yang berada di sekitarnya. Sekarang ini zamannya serba kekurangan ekonomi. Orang-orang masih banyak memerlukan bantuan untuk makan, pendidikan, dan kesehatan. Kepedulian orang beragama itu tidak hanya lewat kata-kata, tapi perlu bukti nyata.