Selasa, 28 Februari 2012

Stigmatisasi Terorisme pada Pesantren


Pondok Pesantren Umar Bin Khattab tiba-tiba menjadi berita. Sayangnya, bukan prestasi terpuji yang membawa namanya menasional, melainkan sebuah ledakan yang diduga bom. Hal tersebut mau tidak mau semakin menguatkan stigma negatif yang dilontarkan bahwa pesantren sebagai basis kekerasan. Bahkan, akhir-akhir ini semakin sering pesantren dikaitkan dengan kasus radikalisme.

Sebelum Pesantren Umar Bin Khattab di Bima, Nusa Tenggara Barat, muncul, pesantren Ngruki di Jawa Tengah dan Pesantren Al-Zaitun di Jawa Barat sudah lebih dulu menjadi perbincangan banyak orang. Lagi-lagi bukan prestasi positif yang membuatnya menjadi berita, melainkan karena pesantren yang terletak di Solo dan Indramayu ini diduga kuat memiliki kaitan dengan sejumlah kasus cuci otak oleh gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Hal ini tidak lain karena Abu Bakar Ba’asyir dan Panji Gumilang banyak dikaitkan dengan NII.

Jika demikian adanya, tidaklah berlebihan jika banyak pihak yang kerap mengaitkan umat Islam dengan kekerasan. Tetapi, semua tahu bahwa dalam sejarah Islam Indonesia, pesantren merupakan institusi strategis tempat Islam diajarkan dan kaderisasi dilakukan. Karena itu, sekali citra pesantren ini rusak, maka dengan serta-merta umat Islam ikut terbawa.

Kasus Pesantren Umar Bin Khattab, Ngruki, dan Al-Zaitun bukan yang pertama kali terjadi, bahkan ada gejala untuk menjadikan agama menjadi wacana penting di balik peristiwa teror dan kekerasan. Selain kasus ideologi kekerasan, komunitas agama juga kerap diidentikkan dengan tindak teror di tempat umum, seperti pada peristiwa Bom Bali I dan II, kemudian bom Kuningan (Kedutaan Australia). Hampir setiap kali polisi mengungkap para pelaku teror, kita dihadapkan dengan kenyataan bahwa hampir sebagian besar pelakunya menggunakan atribut keagamaan.

Stigma ini juga kerap dilakukan dunia internasional. Dalam konflik-konflik global, Dunia Barat sering kali mengaitkan peristiwa teror dengan kelompok Alqaidah, yang suka atau tidak, mereka menggunakan simbol Islam sebagai dalang di balik tindakan terorisme internasional. Maka dari itu, tidaklah heran jika seorang ilmuwan sekaliber Bernard Lewis membuat kesimpulan bahwa, most Muslims are not fundamentalists, and most fundamentalists are not terrorist, but most present-day terrorist are Muslims and proudly identify themselves as such. Demikian sebagaimana ditulis dalam buku The Crisis of Islam, Holy War and Unholy Terror, (2003).

Pernyataan tadi mungkin masih bisa diperdebatkan. Tetapi, fakta yang terjadi menunjukkan keterlibatan banyak umat Islam dalam tindak kekerasan. Demikian halnya, negara yang berpenduduk Muslim seperti Afghanistan, Pakistan, Irak dan juga Indonesia kerap kali dilanda tindakan terorisme. Sebuah fakta yang tidak cukup dilawan hanya dengan wacana.

Komoditas politik

Terlepas dari motif sebenarnya, tindak kekerasan yang terjadi di Pondok Pesantren Umar Bin Khattab sulit diterima akal sehat. Sebagai lembaga agama, sesungguhnya tindakan kekerasan sulit menemukan argumentasi teologisnya dalam agama apa pun. Pada banyak kasus di Tanah Air, justru sedang terjadi proses ideologisasi. Caranya adalah dengan melegitimasi tindak kekerasan dengan nilai-nilai agama. Para pelaku membajak berbagai doktrin dan pemahaman agama untuk membenarkan tindakan mereka. Misalnya, dengan menafsir doktrin seperti jihad, atau kalau perlu mengimpor ideologi tersebut dari luar, seperti dalam kasus ideologi Alqaidah. Hanya dengan cara demikian mereka menemukan pembenaran atas tindakan yang dilakukan selama ini.

Kemungkinan lain, kasus yang terjadi di Pesantren Umar Bin Khattab merupakan peristiwa sebenarnya. Banyak peristiwa teror dan konflik yang terjadi di masyarakat sesunguhnya tidak benar-benar memiliki akar konflik yang jelas. Sering kali konflik tersebut muncul begitu saja, lalu menghilang tak berjejak. Demikian pula dalam beberapa kasus terorisme di Tanah Air. Fenomena terjadi sebagai peristiwa yang instan dan bukan sebagai peristiwa yang laten. Secara ilmiah, konflik tidak pernah terjadi secara tunggal. Selalu ada api di balik asap yang mengepul. Konflik besar selalu dimulai dengan percikan-percikan ketimpangan.

Terlebih lagi banyak kasus teror yang tidak jelas ujung pangkalnya. Masyarakat tidak pernah mengerti asal mula dan ujung dari semua kasus yang terjadi. Bahkan, sering kali pihak-pihak keluarga dan masyarakat tidak mengerti peristiwa di sekitar mereka.

Yang lebih mengherankan, sering kali kasus teror mengemuka di tengah kasus politik dan korupsi yang melibatkan elite politik nasional. Seperti sebuah alur dalam cerita, kasus tersebut muncul dalam rentang kasus besar yang membanjir di media. Karena itu, tidak berlebihan jika orang menduga kasus teror seperti yang terjadi di Pesantren Umar Bin Khattab sengaja didesain sebagai upaya untuk mengalihkan perhatian publik.

Mengambil sikap

Peristiwa teror banyak dilakukan oleh kelompok minoritas eksklusif yang aktif dengan melakukan serangkaian tindak kekerasan. Karena itu, kehidupan pesantren di Tanah Air tidak dapat direpresentasikan hanya dengan melihat kasus yang terjadi pada sebagian kecil pesantren yang berlaku anarkis tersebut. Namun, meski dilakukan sebagian kelompok kecil pesantren seperti Ponpes Umar Bin Khattab, tidak berarti bahwa fenomena tindak kekerasan dan terorisme berkedok keagamaan tidak menjadi signifikan.

Dalam kajian ilmiah, dikenal dengan apa yang diistilahkan sebagai the small significant. Istilah ini menunjukkan bahwa meskipun tindakan kekerasan dilakukan oleh sebagian kecil orang atau kelompok, angka itu tetap berpengaruh secara signifikan dan serius. Karena, sebagaimana lazimnya tindak kekerasan, partisipasi yang rendah pun sudah cukup untuk dapat menghasilkan dampak kerusakan yang besar atau luas, baik material maupun psikologis.

Artinya meskipun peristiwa ledakan bom itu terjadi di pesantren yang hanya memiliki santri tidak lebih dari lima puluh orang, namun radius negatif dari persitiwa tersebut menyebar ke seluruh pesantren di Tanah Air. Umat Islam, suka ataupun tidak, ikut menanggung akibat buruk dari peritiwa tersebut. Karena itu, semua pihak, baik masyarakat, kalangan pesantren, maupun Kementerian Agama sebagai pemangku kebijakan harus lebih proaktif, bukan reaktif dalam menyikapi persoalan seperti ini. Jika tidak, pesantren sebagai sebuah institusi penting bagi kelangsungan regenerasi umat Islam dikhawatirkan akan semakin buruk citranya.

Prof Dr Dadang Kahmad, Ketua PP Muhammadiyah dan Guru Besar Sosiologi Agama UIN Bandung

Sumber Republika, 27 Juli 2011

Tidak ada komentar: