Minggu, 18 Mei 2008

Langkah-langkah Pengamalan Nilai-Nilai Ukhuwah Islamiyah

Berdasarkan studi perjalanan Sejarah Islam, Persoalan Ukhuwah Islamiyah merupakan persoalan serius dari dulu hingga sekarang dan tetap menjadi isu penting dan bahkan mungkin akan terus menjadi batu ujian serta tantangan dalam menata kehidupan keberagamaan di kalangan kaum muslimin hingga akhir zaman. Saya berpendapat bahwa selama manusia masih ada, maka isu konflik antar kelompok akan selalu muncul dalam bentuk dan formatnya yang berbeda, sesuai dengan semangat zamannya. Hal tersebut terjadi karena kebhinekaan dalam pemahaman agama merupakan suatu keniscayaan sejarah (historical necessary) yang tidak dapat dielakan. Maka perbedaan dalam pemikiran maupun pengamalan keagamaan pun terjadi sebagai keniscayaan sejarah yang tidak mungkin terhindarkan.

Dalam kehidupan kaum Muslimin di seluruh pelosok dunia, telah muncul berbagai aliran keagamaan yang dilatarbelakangi oleh masing-masing kelompok karena adanya perbedaan manhaj (methode) dalam penetapan hukum. Seperti di kalangan sufi lahirlah berbagaimacam tarekat baik yang muktabarah maupun yang ghaer muktabarah. Dalam bidang Fikih lahirlah imam madzhab yang empat. Di bidang aqiedah lahirlah aliran ilmu kalam. Dalam bidang politik lahirlah berbagai partai politik berbasis agama. Dibidang social keagamaan lahirlah organisasi massa islam. Semua itu merupakan pelangi di siang hari melahirkan warna warni yang beraneka ragam yang indah bila dipandang.

Kebhinekaan pemahaman agama tersebut di atas merupakan suatu keniscayaan sejarah (historical necessary) yang bersifat universal. Dalam bahasa teologi, kebhinekaan pemahaman keagamaan ini, merupakan sunnat al-Allah (kepastian hukum Tuhan) yang bersifat abadi (perennial) Alquran berulangkali menegaskan isyarat akan kebinekaan pemahaman agama tersebut seperti antara lain termuat dalam surat al-Baqarah [2]: 148:

Dan bagi tiap-tiap ummat ada kiblatnya (wijhah) sendiri yang ia menghadap kepadanya; maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada, niscaya Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Q. Al-Baqara [2] : 148).

Kata wijhat menurut ahli tafsir (mufassir) memiliki banyak pengertian, diantaranya berarti arah atau kiblat, tujuan, pandangan dan orientasi. Artinya bahwa setiap ummat atau komunitas agama (ahl al-adyân/al-millat) memiliki arah atau kiblat, tujuan, orientasi dan cara pandang masing-masing yang satu sama lainnya berbeda.

Ide tentang kebinekaan sebagai kepastian hukum Tuhan (sunnat al-Allâh), yang bersifat abadi (perennial) tersebut, juga dinyatakan dalam Alquran surat al-Maidah [5]: 48


“Untuk tiap-tiap ummat di antara kamu, Kami berikan aturan (syir’at) dan jalan yang terang (minhâj). Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan” (QS. al-Maidah [5] : 48).

Kata syir’at dan minhâj yang biasa diterjemahkan sebagai aturan dan jalan yang terang, dapat diartikan juga sebagai praktek keagamaan. Artinya bahwa setiap ummat atau komunitas agama (ahl al-adyân/al-millat) memiliki praktek keagamaan masing-masing yang satu sama lainnya berbeda.

Dengan demikian, berdasarkan penafsiran kedua ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap ummat atau komunitas agama (religious community) mempunyai arah atau kiblat, tujuan, orientasi, pandangan serta praktek keagamaan masing-masing, yang berarti menunjukan pembenaran adanya kebhinekaan agama. Pembenaran terhadap kebhinekaan agama tersebut semakin bertambah tegas apabila membaca penggalan surat al-Maidah [5]: 48 di atas, bahwa “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu ummat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam berbuat kebajikan”. Penggalan ayat ini menegaskan bahwa kebhinekaan ummat beragama merupakan suatu yang memang menjadi tujuan dan kehendak Tuhan dalam ciptaan-Nya supaya dapat menguji manusia dalam merespons kebenaran-kebenaran yang telah disampaikan-Nya dan supaya manusia berkompetisi dalam melakukan kekaryaan yang baik (musâbaqat fî al-khair).

Ibnu ‘Arabi, seorang sufi yang dikenal sebagai Guru Yang Agung (Syaikh al-Akbar) memberikan penjelasan teologis-filosofis yang sangat menarik berkenaan dengan proses terjadinya kebhinekaan beragama tersebut. Dalam karya the magnum opus-nya, Futûhât al-Makiyat, Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa kebhinekaan atau kebhinekaan syari’at (agama) disebabkan oleh kebhinekaan relasi Tuhan (devine relationships, nasab al-Ilâhiyat); sementara kebhinekaan relasi Tuhan disebabkan oleh kebhinekaan ke-adaan (states, hâl); kebhinekaan keadaan disebabkan oleh plu-ralitas masa-waktu atau musim (times al-waqt); kebhinekaan masa-waktu disebabkan oleh kebhinekaan gerakan benda-benda angkasa (movement, harâkat al-aflâq); kebhinekaan gerakan dise-babkan oleh kebhinekaan perhatian Tuhan (attentivenesses, taw-jihat al-Ilâhiyat); kebhinekaan perhatian disebabkan oleh kebhinekaan tujuan Tuhan (goals, al-qashd); kebhinekaan tujuan disebabkan oleh kebhinekaan penampakan diri Tuhan (self disclousures, tajliyat al-Ilâhiyat); dan kebhinekaan penampakan Tuhan, disebab-kan oleh kebhinekaan syari’at (revealed religion).

Sementara secara historis empiris, menurut Ismail Raji al-Faruqi kebhinekaan atau kebhinekaan agama tersebut disebabkan oleh perbedaan tingkat perkembangan sejarah, peradaban dan lokasi ummat yang menerimanya. Lebih lanjut Isma’il Raji al-Faruqi menjelaskan bahwa asal dari agama itu satu karena besumber pada yang satu, Tuhan, yaitu apa yang disebutnya se-bagai Ur-Religion atau agama fitrah (Din al-Fithrat), sebagai-mana firman Allah “Maka hadapkanlah wajahmu kepada (Allah) dengan lurus; (tetaplah) atau fitrah Allah yang telah menciptakan manusia di atas fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama yang benar, akan tetapi, kebanyakan manusia tidak mengetahui” (QS. al-Rum [30]: 30). Tetapi kemudian, sejalan dengan tingkat perkembangan seja-rah, peradaban dan lokasi ummat yang menerimanya, Dîn al-Fitrah atau Ur-Religion tersebut berkembang menjadi suatu agama historis atau tradisi agama yang spesifik dan beraneka (plural).[1]

Watak Masyarakat Agama dan Keniscayaan Konflik


Watak dasar dari masyarakat beragama adalah akan menganggap apa yang dilakukan dalam kelompoknya benar dan cenderung menganggap apa yang dilakukan oleh pemeluk kelompok lain sebagai yang tidak benar. Dalam bahasa sosiologi agama, watak dasar tersebut dikenal dengan truth claim (klaim kebenaran). Klaim kebenaran (truth claim) inilah yang menjadi karakteristik dan identitas suatu agama, tidak ada agama tanpa klaim kebenaran. Sebab, tanpa adanya truth claim maka agama tidak akan memiliki kekuatan simbolik yang menarik pengikutnya.. Watak dasar inilah yang kemudian melahirkan kristalisasi iman (faith) dan kecintaan terhadap suatu kelompok agama yang diyakininya, serta mendorong timbulnya minat untuk mempelajari, mengamalkan dan menyebarkan ajaran-ajarannya (dakwah atau missi, zending dan sebagainya), bahkan mempertahankan eksistensinya.


Dengan demikian, bila semua agama memiliki watak dasar tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kebhinekaan, sebenarnya menyimpan potensi konflik serta ketegangan sosial-politik yang sangat rawan, bahkan menjadi suatu keniscayaan. Keniscayaan konflik intern dan antar ummat beragama ini sebagaimana secara inplisit disebutkan di atas, setidaknya disebabkan oleh tiga hal, yaitu: pertama, masalah paradigma dan internpretasi keagamaan; kedua, masalah implemetasi pemahaman keagamaan dalam kehidupan sosial; dan ketiga, masuknya dimensi kepentingan politis dalam internpretasi dan implementasi keagamaan.


Masalah paradigma beragama dan interpretasi keagamaan yang secara sosiologis dapat dikelompokan kepada tradisionalis, fundamentalis dan modernis, kerapkali menjadi pemicu terjadinya perbedaan yang mengarah kepada konflik intern dan antar ummat beragama. Demikian pula dengan fatwa-fatwa keagamaan yang dikeluarkan oleh para pemuka agama berkembang ke arah “idiologisasi” di mana pandangan keagamaan dalam putusannya menjadi semacam kompilasi doktrin pemikiran keagamaan yang bersifat aksiomatik-positivistik-monistik (sebagai satusatunya kebenaran yang bersifat final dan tidak dapat diganggu gugat).

Himpunan fatwa keagamaan tersebut oleh sebagian besar kalangan beragama dianggap sakral dan diterima apa adanya (taken for granted), tidak menerima pengurangan, perubahan dan pembaruan (ghair qâbil li al-nuqâsh wa al-taghyîr wa al-ishlâh). Pensakralan pemikiran keagamaan sebagaimana dalam kecenderungan tersebut, tentu saja mengandung truth claim sepihak yang berimplikasi pada sikap keagamaan yang lebih menganggap apa yang menjadi keyakinan dan yang di-praktekannya sebagai paling benar, serta menganggap pemeluk agama lain (the religious other) dan keyakinan lain sebagai yang salah dan bahkan dituduh “kafir”.


Banyak organisasai massa islam yang mengklaim dirinya sebagai kelompok yang paling benar, paling baik dan paling sesuai dengan cara hidup rasull dan menuduh kelompok lain tidak benar. Mereka merujuk kepada dalil yang berasal dari al-qur’an maupun dari Sunnah Rosulullah, menginpretasikannya sesuai dengan kepentingan kelompoknya dan mengidentifikasi diri sebagai aliran yang direstui oleh Nabi. Sikap-sikap seperti inilah yang akan menghambat lahirnya ukhuwah Islamiyah diantara umat islam. Dan klaim seperti itulah yang makin merenggangkan kebersamaan umat Islam.

Menurut hemat saya ada beberapa pemikiran untuk memulai langkah positif dalam rangka meningkatkan ukhuwah Islamiyah di antara kaum muslimin.

  1. Tafsirkan kembali ayat al-qur’an maupun Hadits Nabi dibawah kerangka kebersamaan antara umat Islam dan dibawah kepentingan merekatkan tali persaudaraan antara Umat Islam.

  2. Tanamkan dengan sungguh-sungguh kesadaran bahwa hidup manusia itu beragam, keberagaman itu bukan kehendak pribadi tetapi sudah menjadi kehendak Illahi. Perbedaan tersebut merupakan sunatullah yang telah menjadi ketentuan dari Allah

  3. Keberagaman itu terjadi karena adanya perbedaan dalam cara dan kemampuan pimpinan kelompok Sosial karena perbedaan latar belakang kehidupan serta pengalaman hidup mereka.

  4. Binalah masing masing anggota kelompok untuk bisa hidup dengan kondisi dan situasai lingkungan hidup yang berbeda dan bermacam-macam orang, sehingga lahir sikap toleran terhadap perbedaan,

  5. Perbanyaklah dialog antar kelompok,dan gelar pertemuan bersama yang dihadiri oleh tokoh dan anggota kelompok tersebut.

  6. Buatlah secara bersama melibatkan berbagaimacam kelompok dan aliran untuk menetapkan modus vivendi sebagai alat pemersatu yang disepakati bersama dan di jungjung tinggi bersama.

  7. Rancang adanya kerja Bareng antar kelompok agama dalam menaggulangi issue social sehingga dapat melahirkan solidaritas dan rasa senasib dan sepenaggungan di antara pemeluk kelompok agama.

    [1] Dikutif dari MTPPI PP Muhammdiyah, Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antarummat Beragama, op. cit., h. 15.