Selasa, 18 Maret 2008

Kesalehan Sosial dalam Islam

Prolog

Salat adalah simbol kesalehan religius dalam Islam. Lima kali dalam sehari kaum muslimin melaksanakannya, nyaris tidak ada satu waktupun yang tertinggal. Setiap minggu pada hari Jum’at, kaum muslimin selalu diingatkan dalam khutbah untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan, berlaku adil dan berbuat kebaikan. Satu bulan penuh di Bulan Ramadhan, kaum muslimin juga melaksanakan puasa, suatu bentuk ritual keagamaan yang penting bagi pembentukan spiritualitas, moralitas dan solidaritas sosial. Bahkan dalam setiap tahun, ribuan kaum muslimin berangkat menunaikan ibadah haji dan umrah ke baitullah. Suatu ritual keagamaan yang tidak saja membutuhkan kearifan spiritualitas dan kekuatan fisik, melainkan juga membutuhkan modal kapital yang banyak.

Idealnya, beberapa bentuk ritual keagamaan di atas, dapat merefleksi dalam berbagai kearifan hidup dan mendorong lahirnya kesalehan sosial. Tetapi, sayangnya bersamaan dengan merebaknya kesadaran keagamaan tersebut, berbagai praktek ‘kemungkaran dan kezaliman’ justru semakin merajarela. Ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, kejahatan politik, kesenjangan kaum kaya dan kaum miskin, penindasan dan ekploitasi atas kaum lemah, muncul menjadi pemandangan keseharian di sekitar kita. Kue pembangunan bangsa hanya dinikmati oleh segelintir orang, terutama orang yang punya kekuasaan politik dan punya kekuasaan ekonomi (modal, kapital), sementara masyarakat lemah semakin termiskinkan dan termarjinalkan. Lihat saja, orang beragama Islam yang punya kuasa politik dan kuasa kapital, masih bisa bersenandung dan berpesta makanan lezat, sementara masyarakat miskin di sekelingnya menderita kelaparan; dan sementara mereka yang tergusur rumahnya merasa kedinginan di malam hari dan kepanasan di siang hari.

Oleh karena itu, agama dalam bentuknya yang bersifat ibadah ritual seperti salat, puasa dan haji, tidak bisa lagi memberikan pencerahan dan pembebasan dari segala bentuk kemungkaran dan kezaliman sosial. Akibatnya, agama yang dahulu diturunkan sebagai kritik atas realitas social dan budaya yang timpang, kini telah bergeser menjadi semacam penjaga kursi kekuasaan yang munkar dan zalim. Atau semacam alat pembenaran atas tindak kebencian, kekerasan, intoleransi, dan penindasan baru terhadap sesama manusia.

Timbul pertanyaan, mengapa kesalehan individual tidak mengimbas pada kesalehan sosial? Mengapa makin banyak kegiatan agama dan dakwah tetapi korupsi, kekerasan, penganiayaan dan kejahatan makin bertambah banyak? Bagaimana bentuk hubungan kesalehan individual dengan kesalehan sosial? Berbagai masalah inilah mungkin yang dapat kita diskusikan dalam makalah singkat ini.

Dalam kerangka inilah diperlukan suatu ikhtiar untuk menyegarkan kembali wacana agama yang mencerahkan dan membebaskan, menciptakan beberapa kesalehan sosial, serta mempersempit ruang bagi tumbuh dan berkembangnya kemungkaran dan kezaliman sosial.

Kesalehan Sosial dalam Islam

Agama pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk melakukan komunikasi ruhani dengan Tuhan. Lebih dari itu, agama merupakan upaya manusia untuk meneladani sifat atau akhlak Tuhan sesuai kapasitas kemanusiaannya (takhallaqa bi akhlaqillah ala taqathil basyariyah). Konsep agama ini mengandung implikasi ajaran yang lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia adalah untuk beribadah, mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. 51: 56) Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang menjadi isue utama manusia.

Tetapi kemudian konsep agama ini memiliki arus balik kepada manusia. Agama tidak hanya berdimensi ritual-vetikal (hablun minallah), melainkan juga mencakup dimensi sosial-horizontal (hablum minan nas). Agama tidak hanya mengurusi persoalan ibadah-ritual (iman) untuk pembentukan kesalehan individual (private morality), akan tetapi yang terpenting dari itu adalah mewujudkan iman tersebut dalam pembentukan kesalehan sosial (social morality)-nya. Sebab, kesalehan individual tidak akan memiliki makna apapun, jika tidak dapat menciptakan kesalehan dalam kenyataan sosial. Itulah makna hakiki dari kehidupan beragama. Karena itu, bisa disebut bahwa, sikap keberagamaan yang tidak melahirkan kesalehan sosial, maka akan kehilangan maknanya yang hakiki.

Islam adalah agama yang selalu mempertautkan antara kedua kesalehan tersebut, yaitu kesalehan yang bersifat religius individual dengan kesalehan yang bersifat sosial. Dalam Islam orang yang telah mencapai puncak kualitas keagamaan (taqwa, al-muttaqîn) digambarkan sebagai, di samping memiliki kesadaran transenden (keimanan), juga memiliki komitmen sosial untuk membangun masyarakat yang saleh (good society) secara sosial, ekonomi, politik, dan kulturalnya (QS. 2: 1-5, 177).

Perhatian Islam terhadap kesalehan religius-individual dan kesalehan sosial di atas, juga dapat ditemukan dalam sejumlah riwayat yang sangat populer, di antaranya disebutkan bahwa “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memulyakan tetangga, tamu, dan hendaklah berkata yang baik-baik atau kalau tidak bisa, hendaklah diam” (HR. Mutafaq Alayh). Dalam sebuah hadits Qudsi juga di sebutkan bahwa “Demi Allah, demi Allah, tidaklah beriman… orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan buruknya… yakni kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan” (HR. Mutafaq Alayh).

Kedua riwayat di atas, menjelaskan ajaran fundamental Islam bahwa keimanan harus memberikan implikasi pada kehidupan praksis sosialnya. Bahkan Islam memandang mereka yang tidak memiliki komitmen dan kepekaan sosial (sense of social crisis) sebagai membohongkan agama (QS. 107: 1-3). Inilah sekali lagi, hakikat makna iman, yaitu memberikan arti terhadap makna sosialnya. Dengan kata lain, iman akan kehilangan arti pentingnya, jika tidak memiliki implikasi dalam kehidupan praksis sosialnya. Itulah sebabnya, dalam Al-Quran iman—tidak kurang dari 36 kali—selalu dikaitkan dengan amal saleh (misalnya: QS. 2: 62; 5: 69; 6: 54; 18: 88; 19: 60, dan ayat lainnya). Kaitan terkuat dari hubungan semantik Al-Quran, mengikat shâlih (kesalehan) dan îmân sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Seperti bayangan mengikuti bentuk bendanya, di mana ada îmân di situ ada shâlihat (amal shaleh).

Dengan demikian, kesalehan sosial dalam Islam sesungguhnya lebih merupakan aktualisasi atau perwujudan iman dalam praksis kehidupan sosial (a faith of social action). Indikator kesalehan sosial tersebut adalah adanya penyempitan ruang gerak bagi tumbuh-berkembangnya kemungkaran dan kezaliman sosial, baik dalam bentuk ketidakadilan politik dan distribusi kekayaan, kesenjangan kelas kaya dan miskin, maupun dalam bentuk penindasan dan eksploitasi manusia atas manusia (exploitation man by human being).

Jumat, 14 Maret 2008

Agama Islam dan Budaya Sunda

Kebudayaan yang dianut oleh masyarakat Sunda bisa disebut dengan Kebudayaan Sunda. Ia berupa semua sistem gagasan, aktifitas dan hasil karya manusia Sunda yang terwujud sebagai hasil interaksi terus menerus antara manusia Sunda sebagai pelaku dengan latar tempat ia hidup, dalam rentang waktu yang sangat panjang dan suasana yang bermacam-macam dialaminya. Boleh dikatakan bahwa kebudayaan Sunda adalah milik masyarakat Sunda yang diperoleh dari hasil proses adaptasi terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terus menerus dalam jangka waktu yang sangat lama. Perubahan terhadap setiap unsurnya dan hubungan unsur-unsur itu satu sama lainnya berpengaruh kepada kebudayaan Sunda secara keseluruhan.

Ketika seorang manusia Sunda mencoba mengabaikan atau menolak budaya Sunda maka manusia Sunda tersebut telah mengabaikan atau menolak seperangkat nilai yang terbentuk dari hasil proses adaptasi kolektif manusia Sunda dengan lingkungannya yang sudah sekian lama diakui sangat ampuh sebagai alat untuk melindungi masyarakat Sunda dari kerusakan ketika mereka berhadapan dengan berbagai perubahan lingkungan fisik dan nonfisik. Dengan kata lain, budaya Sunda adalah perangkat yang memberikan daya tahan kepada masyarakat Sunda untuk tetap lestari.

Kebudayaan Sunda adalah sumber kerangka acuan masyarakat Sunda ketika mereka berhadapan dengan berbagai perubahan. Suatu perubahan itu ditolak atau diterima oleh masyarakat tergantung kepada sejauh mana perubahan itu bisa diterima oleh kebudayaaanya. Oleh karena itu suatu perubahan yang akan dilakukan terhadap masyarakat Sunda mestilah mempertimbangkan aspek tradisi dan kebudayaan masyarakat Sunda itu sendiri. Ketika suatu perubahan yang berasal dari suatu unsur kebudayaan asing terlalu berbeda jauh dengan kebudayaan Sunda maka perubahan itu akan sangat lama diterima untuk menjadi bagian dari kebudayaan Sunda. Pertama-tama perubahan itu akan ditolak karena dianggap kontra budaya atau unsur budaya yang berlainan, tapi lambat laun perubahan itu sedikit demi sedikit akan diterima menjadi sub budaya dan selanjutnya, dalam waktu yang relatif lama, akan diterima menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan Sunda.

Begitu pula halnya mengenai agama orang Sunda. Semua agama yang masuk ke tatar Sunda akan diseleksi mana yang sesuai (tidak jauh berbeda) dengan kepribadian budaya Sunda dan mana yang berlainan (sangat jauh) dengan kepribadian budaya Sunda. Sebab agama yang datang ke tatar Sunda adalah agama yang sudah dibungkus dengan kebudayaan dimana agama itu berasal. Termasuk Agama Islam ketika datang ke tatar Sunda pada awalnya disebarkan oleh orang-orang yang berasal dari tempat yang mempunyai kebudayaan tertentu seperti dari India, Arab dan Persia, yang secara otomatis telah menjadi warna dan ciri tersendiri dari ajaran Islam itu sendiri. Proses Islamisasi bisa dipandang sebagai suatu proses pertemuan antar dua kebudayaan atau lebih, yaitu antar kebudayaan penyebar agama Islam dengan kebudayaan penerima agama Islam. Oleh karena itu, proses penyebaran agama Islam di tatar Sunda adalah suatu bentuk proses asimilasi, akulturasi dari berbagai budaya yang datang (Arab, Persia, dan India) dengan budaya lokal Sunda yang membentuk kebudayaan Sunda Islam kiwari seperti yang kita saksikan sekarang.

Agama Islam begitu mudah diterima oleh urang Sunda. karena karakter agama Islam tidak jauh berbeda dengan karakter budaya Sunda yang ada pada waktu itu. Sedikitnya ada dua hal yang menyebabkan agama Islam mudah dipeluk oleh urang Sunda. Yang pertama, ajaran Islam itu sendiri yang sederhana dan mudah diterima oleh kebudayaan Sunda yang juga sederhana. Ajaran tentang akidah, ibadah terutama akhlak dari agama Islam sangat sesuai dengan jiwa urang Sunda yang dinamis. Yang kedua, kebudayaan asal yang menjadi “bungkus” agama Islam adalah kebudayaan timur yang tidak asing bagi urang Sunda. Oleh karena itu, ketika urang Sunda membentuk jati dirinya berbarengan dengan proses Islamisasi, maka agama Islam merupakan bagian dari kebudayaan Sunda yang terwujud secara tidak sadar menjadi identitas kesundaan mereka.

Islam masuk ke dalam kehidupan masyarakat sunda melalui pendidikan dan dakwah, bukan dengan jalan penaklukan. Hal tersebut membuat wajah Islam di tatar Sunda berbeda dengan Islam yang disebarkan dengan cara peperangan (paksaan). Kalau di daerah lain agama Islam dianggap sebagai kekuatan asing yang sukar bersatu dengan kebudayaan setempat, maka di masyarakat Sunda, Islam dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan dirinya sendiri. Oleh karena itu, sejak diperkenalkan pertama kali oleh Syekh Syarif Hidayatullah (1470M) di sebelah timur dan kesultanan Banten di sebelah barat, agama Islam terus menyebar ke seluruh pelosok tatar Sunda dengan tanpa hambatan yang berarti. Dengan tidak terasa orang sunda memeluk Islam seperti belajar kebudayaan sendiri, lambat tapi pasti Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka sehari-hari. Menurut hasil sensus penduduk tahun 2000 agama Islam di Jawa Barat dipeluk oleh 37.606.317 orang yang merupakan 98% dari jumlah penduduk Jawa Barat. Tercatat pula 172.523 buah mesjid, 4.772 buah pesantren, 150.927 orang Kiyai, 35.495 orang Ulama, dan 36.201 orang mubaligh yang tersebar merata di seluruh pelosok JawaBarat. Dengan keadaan seperti tersebut di atas dapat di katakan bahwa rakyat Jawa Barat (Sunda) hampir seluruhnya beragama Islam atau dengan kata lain bahwa agama orang Jawa Barat (Sunda) adalah agama Islam.

II

Para pengamat banyak yang mengatakan bahwa kebudayaan Sunda sekarang sulit dipisahkan dengan ajaran agama Islam, sehingga ada ungkapan bahwa Sunda adalah Islam. Ungkapan tersebut untuk pertama kali dilontarkan oleh almarhum Endang.Saefuddin.Anshori, salah seorang Intektual Sunda walaupun beliau bukan keturunan Sunda tetapi lahir dan dibesarkan di tatar Sunda juga berbicara sehari-hari memakai bahasa Sunda. Ungkapan tersebut kemudian menjadi keniscayaan di tengah masyarakat Sunda. aneh lamun aya urang Sunda lain Islam. Hal tersebut lebih memberi tekanan kepada fakta bahwa mayoritas masyarakat Sunda adalah beragama Islam atau kebanyakan urang sunda berkeyakinan tauhid kepada Allah.

Asimilasi dan akulturasi antar dua kebudayaan atau lebih akan melahirkan suatu bentuk kebudayaan baru yang merupakan hasil titik temu dari proses pembauran terus menerus antara berbagai kebudayaan yang berbeda tersebut. Titik temu antara nilai-nilai Sunda dengan nilai-nilai Islam adalah lebih banyak pada etika atau tatakrama. Sistem muamalah yang diajarkan Islam menemukan realitas empirisnya dalam kehidupan masyarakat Sunda. Apa yang dicita-citakan oleh masyarakat Sunda tentang cageur bageur, someah ka semah, nyaah ka sasasama sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip-prinsip ulah ngarawu ku siku dalam pemilikan harta dan jabatan, ulah kaleuleuwihi dalam makan dan minum menemukan kaidah Zuhud dan Qonaah dalam .ajaran tasawuf.

Dan dalam tingkatan tertentu pengaruh agama Islam pada kehidupan orang-orang Sunda dapat dilihat dari beberapa hukum adat yang mereka praktekan dalam bermasyarakat. Hampir di seluruh tempat yang dihuni oleh orang Sunda di Jawa Barat penyelenggaraan hukum waris diatur menurut ajaran faraidh fiqh Islam. Dalam perkawinan juga dilaksanakan secara fiqh Islam yang dipadukan dengan upacara adat, seperti: nyeuyeuk seureuh, buka pintu, sawer, dan huaplingkung. Meskipun, umumnya upacara adat seperti itu dilakukan setelah akad nikah dilangsungkan.

Yang berhubungan dengan proses kehidupan manusia juga dikenal dengan upacara lingkaran hidup (circle life), yaitu upacara untuk menangkal malapetaka yang mungkin muncul saat manusia berada dalam waktu-waktu krisis. Mulai manusia masih dalam kandungan ibunya sampai manusia itu mati diadakan upacara, misalnya babarik, opat bulan jeung tujuh bulan, mahinum, nyusur tanah, tiluna, tujuhna, matangpuluh, natus, merupakan upacara adat yang dipadukan dengan do’a-do’a dari ajaran Islam. Dalam kesempatan itu, para pemimpin agama yang bijaksana biasanya memberitahukan kepada para hadirin, bahwa upacara adat tersebut bukan merupakan kewajiban utama yang harus dilakukan oleh orang Islam. Demikian juga dalam masalah jual beli, pola makan di beberapa tempat, ajaran Islam telihat melekat di dalamnya.

Di samping itu ada suatu kebiasaan pada sebagian orang Sunda yang suka memuliakan waktu atau tanggal tertentu, yang dianggapnya lebih mulia dari waktu yang lainnya, seperti bulan Maulud (Mulud menurut lafal orang Sunda). Menurut kepercayaan orang kampung di Priangan, bulan Mulud merupakan bulan yang istimewa. Dalam bulan ini banyak sekali anjuran dan sekaligus banyak pula pantangannya bagi aktivitas tertentu. Bagi orang yang ingin mematangkan satu ilmu, maka dianjurkan untuk dilaksanakan pada bulan Maulud. Misalnya untuk mematangkan ilmu penca, ilmu kebal atau ilmu kedigdayaan lainnya. Oleh karena itu, dikampung-kampung di wilayah Priangan ada istilah “ngamuludkeun” (membersih-kan dalam bulan Maulud) barang-barang pusaka atau kramat, seperti keris, gung, payung; atau mandi di sungai dengan kembang tujuh warna dan sebagainya. Sebaliknya banyak yang percaya bahwa pada bulan ini, harimaupun akan mengasah kukunya, khususnya pada tanggal 14 Maulud waktu bulan purnama.

Dalam sistem kepercayaan orang Sunda terdapat kepercayaan kepada kekuatan super natural yang paling tinggi, yang sangat berkuasa dan menentukan segalanya. Yaitu Gusti Allah, Pangeran murbeng alam. Kepada tuhanlah seluruh manusia harus berbakti dan mengabdi dengan sungguh-sungguh. Allah murba wisesa, dalam arti sempurna kepandaiannya. Walaupun di kalangan tertentu masih terdapat kepercayaan sisa-sisa agama terdahulu tetapi pada umumnya orang sunda telah memberikan hatinya untuk Iman kepada gusti Allah dan meyakini aqiedah Islam yang lainnya. Kangjeng Nabi Muhammad adalah sebutan penghormatan kepada Nabi Muhammad, yang diyakini sebagi nabi terakhir. Muludan adalah suatu perayaan untuk menghormati kelahiran nabi Muhammad yang diisi oleh sidekah mulud dan pengajian bersekala besar dengan mengundang mubaligh dari daerah lain yang lebih terkenal.

Al-qur’an menjadi bacaan wajib bagi kebanyakan masyarakat sunda. Hampir dipastikan anak-anak mulai berumur tujuh tahun telah diperkenalkan membaca al-qur’an walaupun dengan cara sederhana ( alip-alipan, ngejah, narabas ). Terutama di daerah pedesaan belajar al-qur’an biasanya pada sore hari atau setelah sholat (sambeyang) maghrib. Pada waktu-waktu tersebut akan terdengar dari seluruh pelosok kampung suara anak-anak membaca al-qur’an dengan suara nyaring . Ketika seorang anak telah menamatkan bacaan al-qur’an tigapuluh juz, maka orang tuanya mengadakan perayaan khataman, yaitu acara salametan dengan mengundang tetangga untuk hadir di rumah atau di mesjid untuk mendengarkan bacaan terakhir anak yang khatam qur’an dan diikuti oleh makan nasi tumpeng bersama dengan lauknya daging ayam yang dipanggang ( bakakak).

Dalam bidang arsitektur masjid di tatar sunda berbeda dengan arsitektur mesjid di negara timur tengah yang di dominasi oleh garis lengkung dan berkubah. Kebanyakan masjid dan tajug di tatar sunda berupa bangunan sederhana dengan arsitektur yang kalau dilihat secara sepintas tidak jauh berbeda dengan bentuk rumah penduduk. Bentuk yang paling banyak adalah dalam bentuk atap tumpang dua atau tiga dengan model nyungcung . Oleh karena itu, mesjid-mesjid di tatar sunda dikenal juga dengan sebutan Bale Nyungcung. Sebelum ada Kantor Urusan Agama (KUA) mesjid dipakai untuk kegiatan acara ijab qobul pernikahan, sebagai bale nyungcung mesjid di tatar Sunda identik dengan kegiatan perkawinan.

Walhasil, dalam kasus-kasus di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip ajaran Islam dapat mengakomodasikan nilai-nilai budaya Sunda, dan prinsip budaya Sunda dapat mengakomodasikan nilai ajaran Islam. Maka sekarang, persoalannya bukan terletak pada bagaimana menyundakan Islam dan meng Islamkan Sunda, tetapi bagaimana antara keduanya dapat bersinergi melahirkan sosok insan kamil, luhung elmuna pengkuh agamana jembar budayana. Islam adalah ajaran yang universal melintasi batas-batas etnis, ras dan budaya, sedangkan budaya Sunda adalah budaya yang sangat terbuka dan merespon positif setiap nilai baru yang memungkinkan dirinya untuk lebih maju dan dinamis. Sebagai orang Sunda, tantangan terbesar adalah, bagaimana orang Sunda dapat tampil ke muka dengan segala identitas keSundaan yang mempunyai jiwa kosmopolitan ajaran Islam. Dan kewajiban bagi setiap orang Islam Sunda untuk membuktikan bahwa dengan semangat jihad Islamlah, Sunda akan terus nanjung, dan dengan kekayaan budaya Sundalah, Islam akan tetap agung.


III

Agama ( termasuk Islam) adalah mencakup sistem kepercayaan (iman) yang diwujudkan dalam sistem perilaku sosial para pemeluknya. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Sehingga setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya. Karena itu, keagamaan yang bersifat subyektif, dapat diobyektifkan dalam pelbagai macam ungkapan, dan ungkapan-ungkapan tersebut mempunyai struktur tertentu yang dapat dipahami.

Terdapat hubungan interdependensi yang terusmenerus antara agama dan masyarakat, dan terdapat pengaruh timbal balik antara kedua faktor tersebut. Pertama, pengaruh agama terhadap masyarakat seperti yang terlihat dalam pembentukan, pengembangan, dan penentuan kelompok “keagamaan spesifik” yang baru atau pada norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat. Kedua, pengaruh masyarakat terhadap agama. Dalam hal itu, faktor-faktor sosial yang memberikan nuansa dan keragaman perasaan dan sikap keagamaan yang terdapat dalam suatu lingkungan atau kelompok sosial tertentu.

Dengan demikian, dimensi esoterik dari sesuatu agama atau kepercayaan tertentu pada dasarnya tidak berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dimensi lain di luar dirinya. Selain dibentuk oleh substansi ajarannya, dimensi ini juga dipengaruhi oleh struktur sosial dimana sesuatu keyakinan itu dimanifestasikan oleh para pemeluknya. Sehingga dalam konteks tertentu, di satu sisi, agama juga dapat beradaptasi, di samping pada sisi yang berbeda, ia dapat berfungsi sebagai alat legitimasi dari proses perubahan yang terjadi disekitar kebudayaan para pemeluknya. Sebagi contoh, orang Sunda dalam beragama tidak terlalu menonjolkan formalisme agama, tetapi mereka lebih menyukai subtansi agama yang telah diwujudkan dalam kehidupan sehari hari dengan nama yang bukan agama. Selain itu, orang Sunda lebih fleksibel dalam mensikapi berbagai macam aliran keagamaan yang berkembang di lingkungannya. Sehingga mereka bisa menerima kehadiran berbagai kelompok kegamaan selama mereka tidak menyimpang terlalu jauh dari tradisi kesundaan.

Agama sangat berhubungan dengan persoalan mentalitas. Dalam mentalitas budaya Sunda mempunyai dua dimensi yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan. Di satu sisi mentalitas budaya yang bersumber dari cita-cita dan harapan orang Sunda sebagaimana yang tercermin dalam tradisi lisan yang beredar di kalangan masyarakat Sunda. dan di sisi lain mentalitas budaya itu sebagaimana yang dapat dilihat dari kehidupan masyarakat Sunda dewasa ini.

Aspek yang pertama, mentalitas sebagai semangat budaya atau sistem nilai budaya, tergambar dari sejumlah kecenderungan masyarakat dalam memandang kehidupan, tentang tujuan dan harapan-harapan masyarakat. Di Sunda pandangan terhadap kehidupan ini tergambar dalam sistem nilai yang terungkap dalam “uga”. Sementara itu, mentalitas tergambar dalam pola interaksi sosial, bahasa, pola perilaku yang terkristalisasi dalam pantangan dan pamali.

Dalam tradisi masyarakat Sunda, kedua aspek ini teramu dalam suatu gambaran satu tokoh yang dikenal hampir di seluruh masyarakat Sunda, yaitu ceritera rakyat Sikabayan. Suatu tokoh yang menurut, Utuy Tatang Sontani sebagai manifestasi pribadi manusia yang sudah menemukan puncak kesehatan lahir bathin, yaitu pribadi yang sudah “ teu naon-naon ku naon-naon”. Sosok individu yang telah memiliki integritas diri yang telah tidak terpengaruh aspek-aspek luar, khususnya aspek duniawi. Si Kabayan dapat memandang kehidupan dunia ini sebagai “ Heuheuy jeung deudeuh” artinya kehidupan dunia ini adalah sendagurau dan kasih sayang. Hal tersebut cocok dengan ayat al-qur’an “ Innal hayata dunya laibun wa lahwun” dan hadits nabi “sayangilah yang ada di bumi nicaya engkau akan disayangi oleh zat yang ada di langit”. Selanjutnya, Utuy T. Sontani menjelaskan bahwa tokoh Si Kabayan merupakan manifestasi jiwa orang Sunda yang “cageur jeung bener” (sehat lahir bathin).

IV

Di era modern, gerakan modernisme, yang kadang lebih bernuansa westernis-me (kebarat-baratan) menggejala diseluruh pelosok dunia dan mempengaruhi bahkan mengubah struktur dan sistem nilai budaya lokal, termasuk sistem nilai agama dalam masyarakat Sunda. Secara radikal, sesungguhnya bukan hanya terjadi saat gerakan modernisme, akan tetapi terjadi sejak masa penguasaan Sunda oleh mataram. Masuknya Mataram ke tatar Sunda, ternyata bukan hanya terjadi proses Islamisasi, sebagai dakwah yang dilakukan Sunan Gunung Djati (Cirebon), akan tetapi juga terjadi “jawanisasi” yang bernuansakan primodialisme. Sistem nilai budaya egalitarian, kesederhanaan (tradisi huma) dan spiritualisme masyarakat Sunda beralih pada sistem nilai “sawah” dan sistem nilai feodal. Hal ini tampaknya dan terasa sampai sekarang dengan munculnya fenomena kebahasaan. Undak-unduk bahasa Sunda sebelumnya tidak dikenal masyarakat Sunda (lihat struktur bahasa Sunda Banten, atau sejumlah struktur bahasa Sunda yang ditemukan didaerah-daerah tertentu). Undak-unduk bahasa yang kadang dijadikan indikasi kesopanan dan kelas sosial masyarakat ini, pada kenyataannya lebih menggambarkan kelas sosial yang bernuansa primodalistik.

Perubahan nilai budaya tersebut, diperkuat dan dilanjutkan oleh kolonialisme Belanda. Kultur Feodal mendapatkan legitimasi dan kekuasaan kolonial, karena kultur feodal lebih memudahkan proses penaklukan wilayah jajahan, koloni. Dan selanjutnya gerakan modernisasi yang merambah dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, telah semakin menjauhkan masyarakat Sunda dari akar budayanya. Distansi tersebut telah melemahkan kekuasaan spiritual-budaya masyarakat Sunda.

Karakteristik modernism yang rasionalistik, dan pragmatis (materialistik) telah semakin menjauhkan budaya Sunda pada mainstream, nilai-nilai primordial. Keadaan ini didukung oleh miskinnya artefak budaya masa lalu masyarakat Sunda, sebagai jejak merekatkan batinnnya pada masa lalunya. Sejarah masa lalu menjadi hanya tidak sekedar mitos atau legenda belaka. Mitologis sejarah budaya Sunda, telah meletakkan sejarah masa lalunya dengan paham Islam modern yang tidak pernah bisa berkompromi dengan pandangan-pandangan mitologis.

Tingkat akomodasi budaya Sunda terhadap ajaran Islam dan tingkat akomodasi terhadap bahasa Sunda mengalami kelemahan, bahkan mengalami keruntuhan. Pada akhirnya terjadi “gap” antara budayawan Sunda dengan para santrinya.

Namun demikian, ternyata, karakteristik masyarakat Sunda tidak memiliki kekuatan yang prima untuk berhadapan dengan kultur modernisme. Hal ini tergambar dari fenomena spiritualisme dikalangan masyarakat Sunda. Realitas seperti ini ditandai dengan menjamurnya kecenderungan masyarakat Sunda untuk masuk tarekat. Baik dari kalangan masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah maupun menengah ke atas. Bahkan fenomena ini pun ditemukan dari kalangan intelektual. Dengan demikian para aura primordial Sunda sesungguhnya masih berhembus kencang dikalangan masyarakat Sunda. Aura yang muncul dari pandangan cosmologies masyarakat Sunda yang feminist. Suatu pandangan kosmologis yang melahirkan dua kecenderungan bathini dalam masyarakat Sunda yaitu kecenderungan mutual struggle dan mutual id. Mutual struggle, merupakan suatu ethos yang muncul dari bawah sadar sistem nilai budaya dan individual masyarakat untuk berusaha senantiasa bertahan, mempertahankan integrasi individu dari tekanan-tekanan dari luar. Dan mutasi id, suatu pola pertahanan yang dikembangkan melalui kekuatan komunal, saling bantu dan tolong menolong. Komunitas dijadikan kekuatan dan dasar individu untuk bersandar dari gempuran sistem nilai budaya dan lingkungan fisik lainnya.

Assalamu'alaikum

Selamat berjumpa. terimakasih atas kunjungan anda ke blog saya, ini tempat bersilaturahmi antar sesama kita orang beriman apapun agamanya dan suku bangsanya serta adat istiadatnya.

Pengunjung dipersilahkan untuk memberikan komentar apapun, baik saran maupun kritik atas blog ini maupun terhadap isi pemikiran saya, karena hal tersebut sangat bermanfaat bagi saya yang juga manusia dengan banyak kelemahan.

Kehidupan manusia di zaman sekarang ini memerlukan dialog dan komunikasi yang intens supaya tidak terjadi salah pengertian yang akibatnya memicu konflik dan kesalahpahaman.

Kehidupan harmonis, keterbukaan, toleransi dan empati merupakan idaman saya dalam hidup di masyarakat yang makin majemuk ini. Semoga dunia damai penuh dengan kasih sayang diantara penghuninya.

Sekian dan terima kasih