Romadhon hampir berlalu, kaum muslimin tengah bersiap untuk mencapai klimak dai ritual peribadahan yang melelahkan selama sebulan. melelahkan karena hampir duapuluh empat jam mereka melakukan ibadah, dari shoum, sholat, shodaqoh, baca al-qur'an serta amalan lainnya yang menurut mereka dilipat gandakan tuhan pahalanya.
Idealnya, beberapa bentuk ritual keagamaan di atas, dapat merefleksi dalam berbagai kearifan hidup dan
mendorong lahirnya kesalehan sosial. Tetapi, sayangnya bersamaan dengan merebaknya kesadaran keagamaan tersebut, berbagai praktek ‘kemungkaran dan kezaliman’ justru semakin merajarela. Ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, kejahatan politik, kesenjangan kaum kaya dan kaum miskin, penindasan dan ekploitasi atas kaum lemah, muncul menjadi pemandangan keseharian di sekitar kita.. Lihat saja, orang beragama Islam yang punya kuasa politik dan kuasa kapital, masih bisa bersenandung dan berpesta makanan lezat, sementara masyarakat miskin di sekelingnya menderita kelaparan; dan sementara mereka yang tergusur rumahnya merasa kedinginan di malam hari dan kepanasan di siang hari.
Oleh karena itu, sepertinya agama dalam bentuknya yang bersifat ibadah ritual seperti salat, puasa dan haji, tidak bisa lagi memberikan pencerahan dan pembebasan dari segala bentuk kemungkaran dan kezaliman sosial. Akibatnya, agama yang dahulu diturunkan sebagai kritik atas realitas social dan budaya yang timpang, kini telah bergeser menjadi semacam penjaga kursi kekuasaan yang munkar dan zalim. Atau semacam alat pembenaran atas tindak kebencian, kekerasan, intoleransi, dan penindasan baru terhadap sesama manusia.
Padahal agama pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk melakukan komunikasi ruhani dengan Tuhan. Lebih dari itu, agama merupakan upaya manusia untuk meneladani sifat atau akhlak Tuhan sesuai kapasitas kemanusiaannya (takhallaqa bi akhlaqillah ala taqathil basyariyah). Konsep agama ini mengandung implikasi ajaran yang lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia adalah untuk beribadah, mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. 51: 56) Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang menjadi isue utama manusia.
Tetapi kemudian konsep agama ini memiliki arus balik kepada manusia. Agama tidak hanya berdimensi ritual-vetikal (hablun minallah), melainkan juga mencakup dimensi sosial-horizontal (hablum minan nas). Agama tidak hanya mengurusi persoalan ibadah-ritual (iman) untuk pembentukan kesalehan individual (private morality), akan tetapi yang terpenting dari itu adalah mewujudkan iman tersebut dalam pembentukan kesalehan sosial (social morality)-nya. Sebab, kesalehan individual tidak akan memiliki makna apapun, jika tidak dapat menciptakan kesalehan dalam kenyataan sosial. Itulah makna hakiki dari kehidupan beragama. Karena itu, bisa disebut bahwa, sikap keberagamaan yang tidak melahirkan kesalehan sosial, maka akan kehilangan maknanya yang hakiki.
Islam adalah agama yang selalu mempertautkan antara kedua kesalehan tersebut, yaitu kesalehan yang bersifat religius individual dengan kesalehan yang bersifat sosial. Dalam Islam orang yang telah mencapai puncak kualitas keagamaan (taqwa, al-muttaqîn) digambarkan sebagai, di samping memiliki kesadaran transenden (keimanan), juga memiliki komitmen sosial untuk membangun masyarakat yang saleh (good society) secara sosial, ekonomi, politik, dan kulturalnya (QS. 2: 1-5, 177).
Perhatian Islam terhadap kesalehan religius-individual dan kesalehan sosial di atas, juga dapat ditemukan dalam sejumlah riwayat yang sangat populer, di antaranya disebutkan bahwa “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memulyakan tetangga, tamu, dan hendaklah berkata yang baik-baik atau kalau tidak bisa, hendaklah diam” (HR. Mutafaq Alayh). Dalam sebuah hadits Qudsi juga di sebutkan bahwa “Demi Allah, demi Allah, tidaklah beriman… orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan buruknya… yakni kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan” (HR. Mutafaq Alayh).
Kedua riwayat di atas, menjelaskan ajaran fundamental Islam bahwa keimanan harus memberikan implikasi pada kehidupan praksis sosialnya. Bahkan Islam memandang mereka yang tidak memiliki komitmen dan kepekaan sosial (sense of social crisis) sebagai membohongkan agama (QS. 107: 1-3). Inilah sekali lagi, hakikat makna iman, yaitu memberikan arti terhadap makna sosialnya. Dengan kata lain, iman akan kehilangan arti pentingnya, jika tidak memiliki implikasi dalam kehidupan praksis sosialnya. Itulah sebabnya, dalam Al-Quran iman—tidak kurang dari 36 kali—selalu dikaitkan dengan amal saleh (misalnya: QS. 2: 62; 5: 69; 6: 54; 18: 88; 19: 60, dan ayat lainnya). Kaitan terkuat dari hubungan semantik Al-Quran, mengikat shâlih (kesalehan) dan îmân sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Seperti bayangan mengikuti bentuk bendanya, di mana ada îmân di situ ada shâlihat (amal shaleh).
Di bulan romadhan yang penuh berkah, saatnya kaum muslimin membuktikan keterkaitan antara iman dan amal shaleh, antara puasa dan kepedulian sosial, antara ibadah dengan tindakan yang terpuji (al-akhlak al-mahmudah). Agar kita tidak termasuk yang disinyalir Nabi “ banyak yang puasa tetapi tidak mendapatkan pahala dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”.
Idealnya, beberapa bentuk ritual keagamaan di atas, dapat merefleksi dalam berbagai kearifan hidup dan
mendorong lahirnya kesalehan sosial. Tetapi, sayangnya bersamaan dengan merebaknya kesadaran keagamaan tersebut, berbagai praktek ‘kemungkaran dan kezaliman’ justru semakin merajarela. Ketidakadilan sosial, ketimpangan ekonomi, kejahatan politik, kesenjangan kaum kaya dan kaum miskin, penindasan dan ekploitasi atas kaum lemah, muncul menjadi pemandangan keseharian di sekitar kita.. Lihat saja, orang beragama Islam yang punya kuasa politik dan kuasa kapital, masih bisa bersenandung dan berpesta makanan lezat, sementara masyarakat miskin di sekelingnya menderita kelaparan; dan sementara mereka yang tergusur rumahnya merasa kedinginan di malam hari dan kepanasan di siang hari.
Oleh karena itu, sepertinya agama dalam bentuknya yang bersifat ibadah ritual seperti salat, puasa dan haji, tidak bisa lagi memberikan pencerahan dan pembebasan dari segala bentuk kemungkaran dan kezaliman sosial. Akibatnya, agama yang dahulu diturunkan sebagai kritik atas realitas social dan budaya yang timpang, kini telah bergeser menjadi semacam penjaga kursi kekuasaan yang munkar dan zalim. Atau semacam alat pembenaran atas tindak kebencian, kekerasan, intoleransi, dan penindasan baru terhadap sesama manusia.
Padahal agama pada dasarnya merupakan upaya manusia untuk melakukan komunikasi ruhani dengan Tuhan. Lebih dari itu, agama merupakan upaya manusia untuk meneladani sifat atau akhlak Tuhan sesuai kapasitas kemanusiaannya (takhallaqa bi akhlaqillah ala taqathil basyariyah). Konsep agama ini mengandung implikasi ajaran yang lebih jauh bahwa tujuan kehidupan manusia adalah untuk beribadah, mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (QS. 51: 56) Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah yang menjadi isue utama manusia.
Tetapi kemudian konsep agama ini memiliki arus balik kepada manusia. Agama tidak hanya berdimensi ritual-vetikal (hablun minallah), melainkan juga mencakup dimensi sosial-horizontal (hablum minan nas). Agama tidak hanya mengurusi persoalan ibadah-ritual (iman) untuk pembentukan kesalehan individual (private morality), akan tetapi yang terpenting dari itu adalah mewujudkan iman tersebut dalam pembentukan kesalehan sosial (social morality)-nya. Sebab, kesalehan individual tidak akan memiliki makna apapun, jika tidak dapat menciptakan kesalehan dalam kenyataan sosial. Itulah makna hakiki dari kehidupan beragama. Karena itu, bisa disebut bahwa, sikap keberagamaan yang tidak melahirkan kesalehan sosial, maka akan kehilangan maknanya yang hakiki.
Islam adalah agama yang selalu mempertautkan antara kedua kesalehan tersebut, yaitu kesalehan yang bersifat religius individual dengan kesalehan yang bersifat sosial. Dalam Islam orang yang telah mencapai puncak kualitas keagamaan (taqwa, al-muttaqîn) digambarkan sebagai, di samping memiliki kesadaran transenden (keimanan), juga memiliki komitmen sosial untuk membangun masyarakat yang saleh (good society) secara sosial, ekonomi, politik, dan kulturalnya (QS. 2: 1-5, 177).
Perhatian Islam terhadap kesalehan religius-individual dan kesalehan sosial di atas, juga dapat ditemukan dalam sejumlah riwayat yang sangat populer, di antaranya disebutkan bahwa “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah ia memulyakan tetangga, tamu, dan hendaklah berkata yang baik-baik atau kalau tidak bisa, hendaklah diam” (HR. Mutafaq Alayh). Dalam sebuah hadits Qudsi juga di sebutkan bahwa “Demi Allah, demi Allah, tidaklah beriman… orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kelakuan buruknya… yakni kejahatan dan sikapnya yang menyakitkan” (HR. Mutafaq Alayh).
Kedua riwayat di atas, menjelaskan ajaran fundamental Islam bahwa keimanan harus memberikan implikasi pada kehidupan praksis sosialnya. Bahkan Islam memandang mereka yang tidak memiliki komitmen dan kepekaan sosial (sense of social crisis) sebagai membohongkan agama (QS. 107: 1-3). Inilah sekali lagi, hakikat makna iman, yaitu memberikan arti terhadap makna sosialnya. Dengan kata lain, iman akan kehilangan arti pentingnya, jika tidak memiliki implikasi dalam kehidupan praksis sosialnya. Itulah sebabnya, dalam Al-Quran iman—tidak kurang dari 36 kali—selalu dikaitkan dengan amal saleh (misalnya: QS. 2: 62; 5: 69; 6: 54; 18: 88; 19: 60, dan ayat lainnya). Kaitan terkuat dari hubungan semantik Al-Quran, mengikat shâlih (kesalehan) dan îmân sebagai kesatuan yang tak terpisahkan. Seperti bayangan mengikuti bentuk bendanya, di mana ada îmân di situ ada shâlihat (amal shaleh).
Di bulan romadhan yang penuh berkah, saatnya kaum muslimin membuktikan keterkaitan antara iman dan amal shaleh, antara puasa dan kepedulian sosial, antara ibadah dengan tindakan yang terpuji (al-akhlak al-mahmudah). Agar kita tidak termasuk yang disinyalir Nabi “ banyak yang puasa tetapi tidak mendapatkan pahala dari puasanya kecuali lapar dan dahaga”.