Kamis, 01 Maret 2012

Radikalisme di Jabar


Membaca tulisan Jaziar Radianti tentang Bom Oslo dan Imigran (Pikiran Rakyat, 28 Juli 2011) perlu kita apresiasi dan diskusikan lebih lanjut karena kemunculan gerakan radikalisme, terorsime dan aksi bom bunuh diri tidak bisa ditimpakan kepada suatu sebab dan tidak bisa dikaitkan dengan suatu budaya manapun agama tertentu.

Terorisme bisa disebabkan oleh apa saja, baik idielogi maupun karena ketidakpuasan terhadap pernanan pemerintah–dalam menegakkan hukum, ekonomi, ataupun politik.

Peristiwa pengeboman mobil di Norwegia itu memberi pemahaman baru kepada kita bahwa terorisme itu bukn milik umat Islam saja. Pembantaian di Norwegia yang memakan korban lebih dari 77 orang dilakukan Anders Behring Breivik penganut Kristen (Kristen konservatif) yang tidak puas dengan kebijakan pemerintah atas kaum imigran. Sekali lagi, bom Norwegia menunjukkan lebih tegas bahwa radikalisme bukan milik suatu kelompok atapun agama serta budaya tertentu, walapun radikalisme, terorisme dan fundamentalisme sering diidentikkan dengan umat Islam. Padahal, kalau kita melihat rangkaian peristiwa masa lalu, terorisme terjadi di mana-mana.

Peristiwa pengeboman gedung di Aklahoma, Amerika Serikat; pembantaian warga Palestina oleh Israel di Gaza; penghapusan Etnis Bosnia di Serbia; pengeboman di Inggris oleh IRA; pembantaian suku Hutu dan Tutsi di Afrika; teror oleh Manan Tamil Eelam di Sri Lanka; radikalisme Bajrangdal; Rashtrya Svayam Sevak (RSS) di India; dan lainya di berbagai belahan dunia oleh berbagai penganut agama.

Di tanah Pasundan
Dari berbagai peristiwa di atas justru yang paling mengherankan adalah terjadinya radikalisme di Jawa Barat, banyak pelaku teroris berasal dari jawa Barat. Terakhir, teror bom di mesjid di lingkungan Mapolresta Cirebon. Di Jawa Barat inilah kekerasan atas nama agam meningkat, terutama yang menimpa penganut aliran agama yang berbeda seperti yang menimpa penganut Ahmadiyah. Terjadi penyerangan oleh kelompok radikal terhadap mereka di parung Bogor, di Manis Lor Kuningan, di Cisaar Cianjur, di Cihideung Kota Tasikmalaya dan di Cikeusik Pandeglang. Kalau dibanduingkan dengan provinsi lain, kkerasan terhadap Ahmadiyah di jawa Barat yang terbanyak kasusnya. Data tadi diperkuat laporan toleransi dan intoleransi 2010 yang dikeluarkan Moderate Muslim Society (MMS) yang menunjukkan bahwa jawa Barat menempati urutan tertinggi dalam aksi intoleransi.

Yang menjadi alasan orang merasa benar karen amasyarakat Jawa Barat mayoritas dihuni oleh etnis Sunda yang dikenal dengan sopan santun, someah hade ka semah, sangat menjungjung tinggi falsafah silih asih, silih asah dan silih asuh, ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak, kudu akur ka batur salembur, caina herang laukna beunang, dan sederet lagi pepatah-petih yang mencerminkan ajaran kerukunan dan toleransi. Sepertinya falsafah Sunda itu sekarang telah lentur dan banyak digantikan oleh pengaruh budaya baru yang sangat berbeda dengan budaya Sunda baheula.

Melihat tingginya angka kekerasan di Jawa Barat, khususnya yang menimpa penganut Ahmadiyah, melahirkan kesan bagu bagi masyarakat Jawa barat. dalam pemikiran sosiologis telah terjadi distorsi pada budaya Sunda disebabkan berbagai faktor yang mempengaruhinya, Pertama, pengaruh berbagai krisis yang melanda bangsa Indonesia yang tidak kunjung selesai memberikan tekanan psikologis sehingga urang Sunda cepat marah dan bertindak tidak rasional.

Kedua, pengaruh modernisasi yang menjadikan urang Sunda individualistis. Artinya, tidak memperhatikan lingkungan sekitar sehingga dijadikan kesempatan oleh orang yang tidak baik melakukan aktivitasnya tanpa gangguan tetangga. Hal tersebut dibuktikan ketika terjadi penangkapan kelompok teroris, tetangga merasa terkejut karena tidak mengetahui sebelumnya.

Ketiga, urang Sunda tidak mepunyai ikatan kesukuan seperti marga pada suku Batak atau trah pada masyarakat Jawa, yang diyakini mempu mengikat berbagai latar belakang individu dalam kesatuan primordial. Jadi ketika ada orang yang berbeda dari sisi agam dan kepercayaan, orang Sunda menganggapnya orang lain (the other) yang perlu disingkirkan dan dihilangkan eksistensinya.

Keempat, karena menghilangnya budaya gotong royong, sabilulungan, silih tulungan karena tersisih oleh budaya transaksional. Sesuatu itu selalu diorientasikan kepada transaksi ekonomis. Inilah yang menghilangkan perasaan kebersamaan di antara anggota masyarakat.

Untuk itu, keterlibatan seluruh komponen bangsa, mulai dari pemerintah daerah, pemuka agama, wakil rakyat, dan semua komponen masyarakat lainya untuk bahu-membahu mempersempit ruang gerak radikalisme, terorisme, dan kekerasan lain di tanh Pasunda. Kembalikan lagi orang Sunda kepada Jati dirinya. Wallahu Alam.

Dalam konteks Jawa Barat kekerasan atas nama agama semakin meningkat, terutama yang menimpa kepada penganut aliran Ahmadiyah. Apalagi pasca dikeluarkannya Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Barat No.12 Tahun 2011 tentang larangan kegiatan jemaat Ahmadiyah di Jawa Barat perlakuan kekerasan semakin beringas, seperti yang terjadi di Parung Bogor, Manislor Kuningan, Cisaar Cianjur, Cihideung Kota Tasikmalaya dan Cikeusik Pandeglang.

Lihat saja, hasil laporan toleransi dan intoleransi tahun 2010 yang dikeluarkan oleh Moderate Muslim Society (MMS) menunjukkan Jawa Barat menempati urutan tertinggi sebagai wilayah (Bekasi, Bogor, Garut, dan Kuningan) tertinggi dalam aksi intoleransi.

Padahal masyarakat Sunda sangat memgang teguh falsafah silih asih, silih asah dan silih asuh sebagai prinsip dasar hidup bersuku, bermasyarakat dan bernegara. Pertanyanya dimanakah pandangan urang Sunda itu?

Melihat tingginya angka kekerasan di Jawa Barat, yang menimpa Ahmadiyah dikarenakan faktor sebagai berikut; Pertama, Urang Sunda sangat Individualis. Artinya selama tidak menyinggung pribadinya tidak jadi persoalan. Dari sikap ini terlahirlah perilaku yang tidak memperhatikan masyarakat sekitar.
Kedua, Tidak ada pengikat kesukuan di Jawa Barat, sehingga ikatan agama (Islam) yang menjadikan solidaritas. Barangsiapa berbeda dengan ajaran Islam maka aliran (Ahmadiyah) harus ditingalkan, halal dibunuh. Berbeda dengan kesukuan di Sumatra, khususnya Batak. Agama apa pun (Islam, Kristen, Parmalim) tidak jadi persoalan karena semuanya diikat dengan keturunan keluarga.
Ketiga, Tidak dipegangnya lagi prinsip sabilulungan. Selama ini perilaku gotong royong hanya ada di kampung-kampung. Di Kota sudah ditinggalkan.

Untuk itu, keterlibatan seluruh komponen bangsa, mulai dari pemerintah Jawa Barat, pemuka agama, rakyat, sampai umat sangat dibutuhkan untuk memupus gerakan radikalisme, terorisme, dan aksi bom bunuh diri. Wallahu Alam

Sumber Pikiran Rakyat, 6 Agustus 2011